Senin, 12 Desember 2016

Aspek budaya




Makalah
Aspek budaya
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Islam di Indonesia
Dosen : Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis. 







Di susun oleh:

M. Rahmat. Ramadhan (1113032100036)


Jurusan perbandingan agama
Fakultas ushuluddin
Universitas islam negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2015





DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………….1
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………….2
            Latar Belakang Masalah ………………………………………..……………………...2
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………….………………..3
            Perkembangan Arsitektur Islam ………………………………………...……………...3
            Penonjolan Arsitektur Hindu Buddha…………………………………....……………...5
            Kesenian, kaligrafi dan seni sastra………………………………………....……………6
            Budaya Sebagai Sarana Dakwah…………………………………………...………….11
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………..…………13
            Kesimpulan ………………………………………………………………...…………13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..………..14








BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Budaya merupakan hasil dari proses social yang lakukan oleh manusia selama beribu ribu tahun yang dimana menjadi sebuah cap terhadap suatu bangsa atau kumpulan. Nusantara merupakan Negara yang memiliki banyak budaya, agama dan banyak bahasa. Bahakan kita tidak tahu siapa yang pertama kali datang ke nusantara ini tidak pernah tertulis jelas seperti peradaban yunani.
Agama islam masuk ke nusantara sekitar abad 13 masehi yang dimana ini dibawa oleh para pedagang selain itu juga banyak beberapa pendapat tentang masuknya islam ke Nusantara. ini yang pada intinya dalam pembahasan kali ini ialah kita bertolak pada pengaruh arsiktektur islam dan pendakwahan para Wali sanga.
Memang kedatangan wali ke nusantara ini membawa pengaruh besar dan perubahan bagi masyarakat nusantara yang dimana dalam segi bermasyarakatnya islam mulai mengajarkan kepada  masyarakat nusantara itu dengan social maksudnya dengan kesamaan bukan dengan perbedaan. Dari sinilah keberhasilan pendakwahan para wali.





BAB II
PEMBAHASAN
A.     PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISLAM
Kata Arsitektur berasal dari bahasa Yunani, yaitu : “Architekton” yang terbentuk dari dua suku kata, yakni “Arkhe” yang bermakna asli, awal, otentik, dan “Tektoo” yang bermakna bediri stabil, dan kokoh. Arsitektur Islam adalah Ilmu dan seni merancang bangunan, kumpulan bangunan, struktur lain yang fungsional, dan dirancang berdasarkan kaidah estetika Islam[1].
Arsitektur Islam merupakan sebuah karya seni bangunan yang terpancar dari aspek fisik dan metafisik yang mana bangunan melalui konsep pemikiran islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Rasul, keluarga Rasul, Sahabat Rasul, dan para ulama maupun Cendikiawan muslim. Yang dimana dalam arsitektur ini terdiri dari dua aspek yatu aspek fisik dan aspek metafisik.
Adapun aspek fisik yaitu sesuatu yang nampak secara jelas oleh panca indra. Dalam hal ini sebuha bangunan  yang memilki bentuk dan lagam budaya islam dan dapat dilihat secara jelas melalui beberapa budaya, seperti budya arab, cordoba, Persia sampai peninggalan wali songo. Bentuk fisik yang biasa diterapkan dalam sebuah bangunan  seperti penggunaan kubah, kaligrafi dan sebagainya.
Sedangkan aspek metafisik sesuatu yang tidak nampak atau tidak bisa dilihat oleh panca indra akan tetapi bisa dirasakan hasilnya. Hal ini lebih kepada efek dampak dari hasil desian arsiktektur islam tersebut misalnya seperti dari disain ruangan yang bernuasnsakan islami dalam sebuah rumah ini bisa menjadikan sarana komunikasi antara orang tua dengan anak agar lebih dekat dengan agama mereka sehingga membuat mereka rajir akan beribadah.
            Arsitektur Islam sebagai cerminan budaya sosial kultural ummah (masyarakat Islam) yang tengah berkembang pada periode waktu dan tempat tertentu (selanjutnya kita sebut arsitektur budaya Islam Jawa). Hasil karya utama dalam seni arsitektur Islam adalah masjid sebagai konsekuensi dari ajaran Islam yang mengajarkan shalat dan masjid sebagai tempat pelaksanaannya. Kemudian muncul bangunan-bangunan lain di luar masjid yang juga masih merupakan rangkaian ungkapan kehidupan Islam sebagai fasilitas yang menampung kebutuhan manusia, yaitu istana- istana, bangunan benteng pertahanan, dan makam- makam.
            Pada dasarnya sejarah aritektur islam di Nusantara dapat dilihat sejak kedatangan islam itu sendiri ke Nusantara yang mana islam datang dalam penyebaran ajaranya itu ia menggunakan kesennian arsitektur misalnya saja majid, yang merupakan menjadi ciri khas umat islam Sementara itu, sebelum Islam masuk di Jawa masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai seni asli Jawa maupun jenis bangunan lain seperti di kuburan, candi, keraton, dll[2].
Oleh karena itu ketika Islam masuk di Jawa, arsitektur Jawa tidak dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol- simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan Muslim Jawa dalam karya arsitektur.
            Selain itu kita bisa melihat akan pemaknaan yang ada di sekitar masjid misalnya saja menara yang ada di masjid. Kata menara dari perkataan Manara yang berasal dari bahasa arab “Nar” yang berarti “Api” atau “Nur” yang berarti Cahaya[3]. Awalan kata Ma menunjukkan tempat. Jadi menara berarti tempat menaruh api atau cahaya di atas. Akan tetapi kemudian memiliki manfaat yang lain, yakni untuk mengumandangkan adzan guna menyeru orang melakukan Shalat. Sugeng Haryadi menyatakan bahwa menara dalam pandangan ulama sufi dikategorikan Manaru yaitu suatu bangunan yang puncaknya digunakan untuk memancarkan cahaya Allah SWT (agama Islam). Seperti contohnya masjid Kudus (Masjid Al-Aqsha) yang memiliki menara bercorak Hindu.
B.     Penonjolan arsitektur Hundu Buddha
Nusantara merupakan daerah yang dipengaruhi oleh agama Hindu Buddha, Apabila Hindu Buddha tidak masuk ke nusantara mungkin nusantara tidak  memiliki banyak budaya seperti sekarang, memang Nusantara tercatat sejarahnya hanya ketika Hindu Buddha masuk yang dimana sebelum Hindu Buddha masuk itu seakan-akan nusantara itu tidak memilki peradaban.
Penonjolan yang sangat jelas yaitu Candi yang mana nusantara memilki beberapa candi yaitu Borobudur, Prambanan dll. Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.

 Menurut Dr. W.F Stutterheim dan Dr. H.J. Kom, nama candi merupakan kependekan dari candika, yaitu salah satu nama dari Dewi Durga atau Dewi Maut. Candi dalam agama Hindu sebenarnya adalah bangunan untuk memuliakan raja yang telah wafat[4].
Akan tetapi Candi dalam agama Buddha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa saja. Di dalamnya tidak terdapat pripih dan arcanya tidak mewujudkan seorang raja. Seandainya ada yang ditemukan bukanlah candi agama Buddha aliran Mahayana atau Hinayana, tetapi Buddha Tantrayana, misalnya candi Jawi di Prigen, Pasuruan, Jawa timur. Selain itu juga Candi sebagai bangunan terdiri dari tiga bagian yaitu sebagai berikut :
a) Kaki candi yang melambangkan alam bawahtempat manusia biasa
b) Badan candi yang melambangkan alam atara tempat manusia yang telah meninggalkan keduniawiannya dan alam keadaan suci menemui dewanya
c) Atap candi yang melambangkan alam atas tempat bersemanyamnya para dewa.
Selain candi juga ada masjid yang dimana hasil dari akulturasi Hundu Buddha misalnya masjid Demak yang dimana Bangunan ini berdiri di atas lokasi sekitar alun-alun kota Demak, seperti layaknya masjid-masjid Agung yang dibuat di saat raja-raja Islam sedang berkuasa. Penonjolan pertama pada masjid ini ialah terletak pada bentuknya yang menunjukkan adanya perbauran dengan unsur Hindu pada saat itu, yang kemudian menunjukkan kecondongan bentuknya pada bangunan candi.
C.     Kesenian, kaligrafi dan sastra
Ø  Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu[5].
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:
a.       Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
b.      Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.
c.       Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.
d.      Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk[6].
Ø  Seni Kaligrafi
Seni kaligrafi merupakan bentuk seni / budaya Islam yang pertama ditemukan di Indonesia dan menjadi aset budaya Islam terdepan hingga kini. Kaligrafi Islam dibedakan menjadi dua yaitu tulisan dan lukisan. Lukisan kaligrafi terbagi menjadi dua yaitu murni dan bebas, yang pertama menggunakan bentuk huruf baku biasanya dibuat oleh lulusan pondok pesantren, sedangkan yang kedua tidak menggunakan huruf baku yang dikerjakan oleh seniman akademik. Aneka bentuk lukisan kaligrafi mengandung dua elemen, fisioplastis dan ideoplastis. Elemen fisioplastis berupa penerapan estetis menyangkut unsur-unsur rupa, bentuk, garis, warna, ruang, cahaya dan volume. Elemen ideoplastis meliputi semua masalah langsung/tidak yang berhubungan erat dengan isi atau cita perbahasaan bentuk. Diangkatnya kaligrafi sebagai tema sentral dalam melukis, menjadi sejarah penting terbentuknya lukisan kaligrafi Indonesia[7].
Lukisan kaligrafi sangat diperhitungkan dalam kancah seni rupa Indonesia ketika muncul pendalaman-pendalaman spiritual, penghayatan, perenungan yang mengarah ke kedalaman kemanusiaan dan keTuhanan. Sadali dan AD Pirous layak dicatat sebagai pelopor lukisan kaligrafi Islam Indonesia tahun 1960-an. Selanjutnya seni lukis kaligrafi berkembang pesat dengan tokoh seni Amri Yahya di Yogya, yang menggunakan medium batik, di Surabaya Amang Rahman menciptakan surealisme dengan mengambil kekuatan kaligrafi Islam.
Ø  Arsitektur (Seni Bangunan)
Selain dari kaligrafi dan seni sastara ada juga seni srsitektur yang mana wujud dari akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri sebagai berikut:
1.      Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.
2.      Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
3.      Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam[8].
Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. Di masjid-masjid itulah menurut sejarah, para wali mengajarkan agama Islam.  Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam. Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
Ø  Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
Ø  Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,nisannya juga terbuat dari batu.
Ø  Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
Ø  Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
Ø   Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur di Tuban.
Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).
D.     Buhdaya sebagai sarana dakwah
Dakwah merupakan sara penyebaran islam, dakwah berawal sejak rasul ada sampai sekang, namun dalam penyampaiannya itu bermacam-macam, yang dimana kita itu harus menyesuaikan dengan masyarakat setempat misalnya saja seperti: ceramah, diskusi, tanya jawab, keteladanan serta dapat pula dilaksanakandengan berbagai media, seperti: seni ketoprak, seni ludruk, seni wayang, seni teater dan lain-lain[9].  
            Apabila pendakwahan dilakukan maka sebaiknya harus menyesuaikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat yang dimana agar bisa memudahkan penyampaian kita terhadap mereka. Selain itu juga dalam pendakwahan diusahakan untuk tidak meninggalkan budaya yang didalam  atau kalau bisa kita gunakan budayan yang ada dilam masyarakat tersebut untuk sarana pendakwahan kita, yang mana akan mempermudah bagi masyarakat tersebut.
            Ini merupakan jalan yang digunakan oleh para Wali kita dalam menyebarkan ajaran Islam yaitu dengan menselaraskan budaya mereka dengan ajaran yang akan diajarkan kepada mereka salah satu dengan kebudayaan pewayangan. Memang wayang itu merupakan kesenian yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu bahkan ada yang beranggapan 1500 tahun yang lalu. Maka pada waktu itu dengan banyak pertimbangan dari para Wali maka mereka sepakat untuk menyelaraskan media pewayangan kedalam penyampaian materi dakwah. Maka waktu itu peran bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru.Wajahnya miring, Leher dibuat memanjang, Lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”[10].
Disamping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.






BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Maka melihat dari aspek budaya begitu banyak corak akulturasi budaya antara Nusantara Hindu Budha dan Islam itu sendiri. Yang dimana sangat mempengaruhi keadaan masyarakat setempat. Selain itu juga penyebaran syariat islam oleh para Wali terbuilang sukses karena mereka bisa menyesuaikan keadaan masyarakat setempat dalam melakukan pendakwahaannya selain itu juga para wali tidak menghilangkan budaya yang ada dalam masyarakat.
Selain itu juga banyak kebudayaan yang dimana membantu para wali dalam penyebaran islam di Nusantara misalnya dengan Pewayangan, arsitektur dan seni. Yang mana pewayangan itu sudah ada sejak zaman dahulu yang merupakan jadi kebudayaan khas Nusantara. Yang kemudian dengan kedatangan para wali kenusantara merubah perlahan lahan makna pewayangan yang digantikan isinya dengan makna keislaman. Selain itu juga masih banyak dibidang lain yang mempengaruhi proses penyebaran islam di Nusantara oleh para wali dan alim ulama yang datang ke nusantara.





Daftar pustaka
Sidi zalba, 1998. Islam dan kesenian. Jakarta, Pustaka al Husna.
Musyrifah, sunanto.  2012.  Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.    
Rachym, Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung, Angkasa.
Budiono hadi sutrisno. 2009. Sejarah Walisongo. Jogjakarta, Graha Pustaka.
Abdul Jamil dkk. 2000. Islam dan kebudayaan Jawa, Jogjakarta, Gama Media. 
Al faruqi, ismail Raji. 1999. Seni Tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Jogjakarta, Yayasan Bentang Budaya.
Sudirman. 1980. Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia. Gramedia. Jogjakarta


[1] Al faruqi, ismail Raji, Seni Tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika Islam.
[2] Abdul Jamil dkk, Islam dan kebudayaan Jawa
[3] Rachym, Abdul, Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia.
[4] Sudirman, Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia.
[5] Sidi zalba. Islam dan kesenian
[6] Sidi zalba, Islam dan kesenian.Hal 32
[7] Ibid hal 39
[8] Rachym, Abdul. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia
[9]Musyrifah, sunanto.  Sejarah Peradaban Islam di Indonesia.
[10]Budiono hadi sutrisno. Sejarah Walisongo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar