Makalah
Aspek budaya
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Islam di Indonesia
Dosen
: Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis.
Di susun oleh:
M. Rahmat. Ramadhan (1113032100036)
Jurusan perbandingan agama
Fakultas ushuluddin
Universitas islam negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2015
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………………………….1
BAB
I PENDAHULUAN …………………………………………………………………….2
Latar Belakang Masalah
………………………………………..……………………...2
BAB
II PEMBAHASAN …………………………………………………….………………..3
Perkembangan Arsitektur Islam ………………………………………...……………...3
Penonjolan Arsitektur Hindu
Buddha…………………………………....……………...5
Kesenian, kaligrafi dan seni
sastra………………………………………....……………6
Budaya Sebagai Sarana
Dakwah…………………………………………...………….11
BAB
III PENUTUP ………………………………………………………………..…………13
Kesimpulan ………………………………………………………………...…………13
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………..………..14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Budaya merupakan hasil dari
proses social yang lakukan oleh manusia selama beribu ribu tahun yang dimana
menjadi sebuah cap terhadap suatu bangsa atau kumpulan. Nusantara
merupakan Negara yang memiliki banyak budaya, agama dan banyak bahasa. Bahakan
kita tidak tahu siapa yang pertama kali datang ke nusantara ini tidak pernah
tertulis jelas seperti peradaban yunani.
Agama
islam masuk ke nusantara sekitar abad 13 masehi yang dimana ini dibawa oleh
para pedagang selain itu juga banyak beberapa pendapat tentang masuknya islam
ke Nusantara. ini yang pada intinya dalam pembahasan kali ini ialah kita
bertolak pada pengaruh arsiktektur islam dan pendakwahan para Wali sanga.
Memang kedatangan wali ke
nusantara ini membawa pengaruh besar dan perubahan bagi masyarakat nusantara
yang dimana dalam segi bermasyarakatnya islam mulai mengajarkan kepada masyarakat nusantara itu dengan social
maksudnya dengan kesamaan bukan dengan perbedaan. Dari sinilah keberhasilan
pendakwahan para wali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ISLAM
Kata Arsitektur berasal dari bahasa Yunani, yaitu : “Architekton” yang terbentuk dari dua
suku kata, yakni “Arkhe” yang
bermakna asli, awal, otentik, dan “Tektoo”
yang bermakna bediri stabil, dan kokoh. Arsitektur Islam adalah Ilmu dan seni
merancang bangunan, kumpulan bangunan, struktur lain yang fungsional, dan
dirancang berdasarkan kaidah estetika Islam[1].
Arsitektur Islam merupakan sebuah
karya seni bangunan yang terpancar dari aspek fisik dan metafisik yang mana
bangunan melalui konsep pemikiran islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah
Rasul, keluarga Rasul, Sahabat Rasul, dan para ulama maupun Cendikiawan muslim.
Yang dimana dalam arsitektur ini terdiri dari dua aspek yatu aspek fisik dan
aspek metafisik.
Adapun
aspek fisik yaitu sesuatu yang nampak secara jelas oleh panca indra. Dalam hal
ini sebuha bangunan yang memilki bentuk
dan lagam budaya islam dan dapat dilihat secara jelas melalui beberapa budaya,
seperti budya arab, cordoba, Persia sampai peninggalan wali songo. Bentuk fisik
yang biasa diterapkan dalam sebuah bangunan
seperti penggunaan kubah, kaligrafi dan sebagainya.
Sedangkan
aspek metafisik sesuatu yang tidak nampak atau tidak bisa dilihat oleh panca
indra akan tetapi bisa dirasakan hasilnya. Hal ini lebih kepada efek dampak
dari hasil desian arsiktektur islam tersebut misalnya seperti dari disain ruangan
yang bernuasnsakan islami dalam sebuah rumah ini bisa menjadikan sarana
komunikasi antara orang tua dengan anak agar lebih dekat dengan agama mereka
sehingga membuat mereka rajir akan beribadah.
Arsitektur Islam sebagai cerminan budaya sosial kultural
ummah (masyarakat Islam) yang tengah berkembang pada periode waktu dan tempat
tertentu (selanjutnya kita sebut arsitektur budaya Islam Jawa). Hasil karya
utama dalam seni arsitektur Islam adalah masjid sebagai konsekuensi dari ajaran
Islam yang mengajarkan shalat dan masjid sebagai tempat pelaksanaannya.
Kemudian muncul bangunan-bangunan lain di luar masjid yang juga masih merupakan
rangkaian ungkapan kehidupan Islam sebagai fasilitas yang menampung kebutuhan
manusia, yaitu istana- istana, bangunan benteng pertahanan, dan makam- makam.
Pada dasarnya sejarah aritektur islam di Nusantara dapat dilihat
sejak kedatangan islam itu sendiri ke Nusantara yang mana islam datang dalam
penyebaran ajaranya itu ia menggunakan kesennian arsitektur misalnya saja
majid, yang merupakan menjadi ciri khas umat islam Sementara itu, sebelum Islam
masuk di Jawa masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya
seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai seni asli Jawa maupun jenis
bangunan lain seperti di kuburan, candi, keraton, dll[2].
Oleh karena itu ketika Islam masuk di Jawa, arsitektur Jawa tidak
dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama orang
Jawa, maka simbol- simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa yang
kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua
kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan Muslim
Jawa dalam karya arsitektur.
Selain itu kita
bisa melihat akan pemaknaan yang ada di sekitar masjid misalnya saja menara
yang ada di masjid. Kata menara
dari perkataan Manara yang berasal
dari bahasa arab “Nar” yang berarti
“Api” atau “Nur” yang berarti Cahaya[3]. Awalan kata Ma menunjukkan tempat.
Jadi menara berarti tempat menaruh api atau cahaya di atas. Akan tetapi
kemudian memiliki manfaat yang lain, yakni untuk mengumandangkan adzan guna menyeru
orang melakukan Shalat. Sugeng Haryadi menyatakan bahwa menara dalam pandangan
ulama sufi dikategorikan Manaru yaitu suatu bangunan yang puncaknya digunakan
untuk memancarkan cahaya Allah SWT (agama Islam). Seperti contohnya masjid Kudus (Masjid Al-Aqsha) yang memiliki
menara bercorak Hindu.
B.
Penonjolan arsitektur Hundu Buddha
Nusantara merupakan daerah yang dipengaruhi oleh agama Hindu Buddha,
Apabila Hindu Buddha tidak masuk ke nusantara mungkin nusantara tidak memiliki banyak budaya seperti sekarang,
memang Nusantara tercatat sejarahnya hanya ketika Hindu Buddha masuk yang
dimana sebelum Hindu Buddha masuk itu seakan-akan nusantara itu tidak memilki
peradaban.
Penonjolan yang sangat jelas yaitu
Candi yang mana nusantara memilki beberapa candi yaitu Borobudur, Prambanan
dll. Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk
kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang
berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat
pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi'
tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak
situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik,
baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya,
juga disebut dengan istilah candi.
Menurut Dr. W.F Stutterheim
dan Dr. H.J. Kom, nama candi merupakan kependekan dari candika, yaitu salah
satu nama dari Dewi Durga atau Dewi Maut. Candi dalam agama Hindu sebenarnya
adalah bangunan untuk memuliakan raja yang telah wafat[4].
Akan tetapi Candi dalam agama Buddha dimaksudkan sebagai tempat
pemujaan dewa saja. Di dalamnya tidak terdapat pripih dan arcanya tidak
mewujudkan seorang raja. Seandainya ada yang ditemukan bukanlah candi agama
Buddha aliran Mahayana atau Hinayana, tetapi Buddha Tantrayana, misalnya candi
Jawi di Prigen, Pasuruan, Jawa timur. Selain itu juga Candi sebagai bangunan
terdiri dari tiga bagian yaitu sebagai berikut :
a) Kaki candi yang melambangkan alam bawahtempat manusia biasa
b) Badan candi yang melambangkan
alam atara tempat manusia yang telah meninggalkan keduniawiannya dan alam
keadaan suci menemui dewanya
c) Atap candi yang melambangkan alam atas tempat bersemanyamnya
para dewa.
Selain candi juga ada masjid yang dimana hasil dari akulturasi
Hundu Buddha misalnya masjid Demak yang dimana Bangunan ini berdiri di atas
lokasi sekitar alun-alun kota Demak, seperti layaknya masjid-masjid Agung yang
dibuat di saat raja-raja Islam sedang berkuasa. Penonjolan pertama pada masjid
ini ialah terletak pada bentuknya yang menunjukkan adanya perbauran dengan
unsur Hindu pada saat itu, yang kemudian menunjukkan kecondongan bentuknya pada
bangunan candi.
C.
Kesenian, kaligrafi dan sastra
Ø
Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap
bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab,
bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab
gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi
tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Di samping
itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan
sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode
Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu –
Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian
wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang
dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi
ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu[5].
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:
a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang
berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk
peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan
bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam,
Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
b. Babad adalah kisah rekaan pujangga
keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi
(Jawa Kuno), Babad Cirebon.
c. Suluk adalah kitab yang membentangkan
soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang
dan sebagainya.
d. Primbon adalah hasil sastra yang sangat
dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan,
keajaiban dan penentuan hari baik/buruk[6].
Ø
Seni Kaligrafi
Seni kaligrafi merupakan bentuk
seni / budaya Islam yang pertama ditemukan di Indonesia dan menjadi aset budaya
Islam terdepan hingga kini. Kaligrafi Islam dibedakan menjadi dua yaitu tulisan
dan lukisan. Lukisan kaligrafi terbagi menjadi dua yaitu murni dan bebas, yang
pertama menggunakan bentuk huruf baku biasanya dibuat oleh lulusan pondok
pesantren, sedangkan yang kedua tidak menggunakan huruf baku yang dikerjakan
oleh seniman akademik. Aneka bentuk lukisan kaligrafi mengandung dua elemen,
fisioplastis dan ideoplastis. Elemen fisioplastis berupa penerapan estetis
menyangkut unsur-unsur rupa, bentuk, garis, warna, ruang, cahaya dan volume.
Elemen ideoplastis meliputi semua masalah langsung/tidak yang berhubungan erat
dengan isi atau cita perbahasaan bentuk. Diangkatnya kaligrafi sebagai tema
sentral dalam melukis, menjadi sejarah penting terbentuknya lukisan kaligrafi
Indonesia[7].
Lukisan kaligrafi sangat diperhitungkan
dalam kancah seni rupa Indonesia ketika muncul pendalaman-pendalaman spiritual,
penghayatan, perenungan yang mengarah ke kedalaman kemanusiaan dan keTuhanan.
Sadali dan AD Pirous layak dicatat sebagai pelopor lukisan kaligrafi Islam
Indonesia tahun 1960-an. Selanjutnya seni lukis kaligrafi berkembang pesat
dengan tokoh seni Amri Yahya di Yogya, yang menggunakan medium batik, di
Surabaya Amang Rahman menciptakan surealisme dengan mengambil kekuatan
kaligrafi Islam.
Ø
Arsitektur (Seni Bangunan)
Selain dari kaligrafi dan seni sastara ada juga seni srsitektur
yang mana wujud dari akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada
bangunan masjid, makam, istana. Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri
sebagai berikut:
1.
Atapnya berbentuk tumpang yaitu
atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas
berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah
dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan
Mustaka.
2.
Tidak dilengkapi dengan menara,
seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada
sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan
atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
3.
Letak masjid biasanya dekat dengan
istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat
keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam[8].
Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan Masjid Agung
Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. Di
masjid-masjid itulah menurut sejarah, para wali mengajarkan agama Islam. Selain bangunan masjid sebagai wujud
akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam. Ciri-ciri dari
wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
Ø
Makam-makam kuno dibangun di atas
bukit atau tempat-tempat yang keramat.
Ø
Makamnya terbuat dari bangunan
batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,nisannya juga terbuat dari batu.
Ø
Di atas jirat biasanya didirikan rumah
tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
Ø
Dilengkapi dengan tembok atau
gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok
makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan
berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak
berpintu).
Ø
Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka
disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau
raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur di Tuban.
Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan
Islam, juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun
ragam hias, maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta
dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).
D.
Buhdaya sebagai sarana dakwah
Dakwah merupakan sara penyebaran islam, dakwah berawal sejak rasul
ada sampai sekang, namun dalam penyampaiannya itu bermacam-macam, yang dimana
kita itu harus menyesuaikan dengan masyarakat setempat misalnya saja seperti:
ceramah, diskusi, tanya jawab, keteladanan serta dapat pula dilaksanakandengan
berbagai media, seperti: seni ketoprak, seni ludruk, seni wayang, seni teater
dan lain-lain[9].
Apabila pendakwahan dilakukan maka sebaiknya harus
menyesuaikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat yang dimana agar bisa
memudahkan penyampaian kita terhadap mereka. Selain itu juga dalam pendakwahan
diusahakan untuk tidak meninggalkan budaya yang didalam atau kalau bisa kita gunakan budayan yang ada
dilam masyarakat tersebut untuk sarana pendakwahan kita, yang mana akan
mempermudah bagi masyarakat tersebut.
Ini merupakan
jalan yang digunakan oleh para Wali kita dalam menyebarkan ajaran Islam yaitu
dengan menselaraskan budaya mereka dengan ajaran yang akan diajarkan kepada mereka
salah satu dengan kebudayaan pewayangan. Memang wayang itu merupakan kesenian
yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu bahkan ada yang beranggapan 1500 tahun
yang lalu. Maka pada waktu itu dengan banyak pertimbangan dari para Wali maka
mereka sepakat untuk menyelaraskan media pewayangan kedalam penyampaian materi
dakwah. Maka waktu itu peran bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk
menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru.Wajahnya miring, Leher dibuat
memanjang, Lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya
disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima
sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan
Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ,
dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon
ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku
adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan
pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam
mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian
rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong
atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing
masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan
Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”[10].
Disamping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali
juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya
contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan,
dan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat,
diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu
Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan
kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan,
grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat
kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maka melihat dari aspek budaya begitu banyak corak akulturasi
budaya antara Nusantara Hindu Budha dan Islam itu sendiri. Yang dimana sangat
mempengaruhi keadaan masyarakat setempat. Selain itu juga penyebaran syariat
islam oleh para Wali terbuilang sukses karena mereka bisa menyesuaikan keadaan
masyarakat setempat dalam melakukan pendakwahaannya selain itu juga para wali
tidak menghilangkan budaya yang ada dalam masyarakat.
Selain itu juga banyak kebudayaan yang dimana membantu para wali
dalam penyebaran islam di Nusantara misalnya dengan Pewayangan, arsitektur dan
seni. Yang mana pewayangan itu sudah ada sejak zaman dahulu yang merupakan jadi
kebudayaan khas Nusantara. Yang kemudian dengan kedatangan para wali
kenusantara merubah perlahan lahan makna pewayangan yang digantikan isinya
dengan makna keislaman. Selain itu juga masih banyak dibidang lain yang
mempengaruhi proses penyebaran islam di Nusantara oleh para wali dan alim ulama
yang datang ke nusantara.
Daftar pustaka
Sidi zalba, 1998. Islam dan kesenian. Jakarta, Pustaka al
Husna.
Musyrifah,
sunanto. 2012. Sejarah Peradaban
Islam di Indonesia. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Rachym,
Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur
Nasional Indonesia. Bandung, Angkasa.
Budiono hadi sutrisno. 2009. Sejarah Walisongo. Jogjakarta, Graha
Pustaka.
Abdul Jamil dkk. 2000. Islam dan kebudayaan Jawa, Jogjakarta,
Gama Media.
Al
faruqi, ismail Raji. 1999. Seni Tauhid
Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Jogjakarta, Yayasan Bentang Budaya.
Sudirman. 1980. Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia.
Gramedia. Jogjakarta
[1] Al faruqi, ismail Raji, Seni Tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika
Islam.
[2] Abdul Jamil dkk, Islam dan kebudayaan Jawa
[3] Rachym, Abdul, Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional
Indonesia.
[4] Sudirman, Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia.
[5] Sidi zalba. Islam dan kesenian
[6] Sidi zalba, Islam dan kesenian.Hal 32
[7] Ibid
hal 39
[8] Rachym, Abdul. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional
Indonesia
[9]Musyrifah, sunanto. Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia.
[10]Budiono hadi sutrisno. Sejarah Walisongo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar