Senin, 12 Desember 2016

Karma, Tumimbal lahir dan genetika Buddha



Makalah
Karma, tumimbal lahir dan genetika buddha
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Agama dan Sains
Dosen : Edwin Syafir, M.A.



  

Di susun oleh:

M. Rahmat Ramadhan (1113032100036)


                                                                            
Jurusan perbandingan agama
Fakultas ushuluddin
Universitas islam negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2016





DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………….2
            Latar Belakang Masalah …………………………………………………………………....2
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………………..4
            Karma / Kamma……………………………………………………………………………4
            Kelahiran Kembali / Tumimbal Lahir……………………………………………………...... 5
            Genetika Buddha …………………………………………………………………………...8
BAB III PEUTUP ………………………………………………………………………………....12
            Kesimpulan ………………………………………………………………………………..12










BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Tidak dipungkiri lagi bahwa semakin kesini zaman semakin modern dan semakin berkembang. Salah satu berkembangya suatu zaman itu ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuaannya yang dapat menimbulkan sebuah inofasi-inofasi baru sehingga dapat mempermudah dan memabantu kegiatan manusia. Memang sains seperti di zaman modern ini sangat dibutuhkan untuk perkembangan sebuah ilmu pengetahuan. Terlepas dari hal tersebut sebagai umat yang beragama mungkin kita tidak juga bisa meninggalakan nilai nilai keimanan kita terhadap apa yang kita percayai. Karena terkadang perspektif apa yang diutarakan oleh sains itu berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh agama.
Disini kita ingin melihat sejauh mana sebuah peran sains itu bisa berintegrasi dengan  agama yang mungkin ilmu juga berasal dari suatu kepercayaan seseorang. Memang banyak hambatan yang selalu menerjang antara sais dan agama yang mana terkadang teori teori yang disajikan oleh sain itu bisa menjadi sebuah ketidaksingkronan dengan agama dan terkadangan dengan sains juga menimbulkan sebuah degredasi keimanan.
Pada dasarnya pemakalah tidak berujuk secara spesipik keranah tersebut akan tetapi pemakalah ingin menjelaskan bahwa ada sebuah konsepsi yang tertanam dalam doktrin keagaamaan, mungkin berhubungan dengan sains yang nantinya terdapat sebuah hubungan antara sains dan agama. Kebetulan kali ini kita membahas tentang sebuah doktin tentang karma yang dianut oleh umat Buddha dan kelahiran kembali yang mungkin umat Buddha mengenalnya dengan Tumimballahir selain itu juga kita akan mencoba untuk melihat secara ilmu pengetahuan atau sains yang berhubungan dengan hal itu yaitu dengan ilmu genetika.
Dalam sebuah doktrin agama Buddha terdapat sebuah konsepsi tentang Karma yang mana mereka mengangapnya sebuah perbuatan enteh buruk dan baik maka akan dibalas sesuai dengan perbuatan awal yang ia lakukan, mungkin ini sebuah balasan atas apa yang telah dilakukan oleh manusia. Dalam konsep ini akibat dari perbutan yang telah dilakukan oleh manusia itu bisa terjadi ketika ia hidup dan bisa terjadi setelah ia meninggal. Ada sebuah perbedaan ketika karma itu terjadi setelah meninggal atau setelah mati maka manusia itu masuk kepada konsep Tumimbal lahir atau kelahiran kembali. Mungkin kita tahu bahwa tujuan dari pada umat Buddha ialah Nibbana atau kesunyatan yang berada jauh di alam syurga sana. Sebelum mereka itu mencapai Nibbana seseorang yang terlibat dalam Tumimballahir harus menyelesaikan dulu proses tersebut. Tumimbal lahir ini merupakan Karma atas perbuatannya ketika hidup awalnya atau ketika ia pertama hidup misalnya si A terlah berbuat seseuatu yang tidak baik maka apa bila balasannya itu tidak ia dapatkan ketika hidup maka ia dapatkan ketita setelah mati dan ia akan kembali lagi menjelma menjadi sesuatu entah binatang, tumbuhan dll. Yang pastinya wujud dan fisikya yang berbeda yang sama hanya rohnya saja. Mungkin penjelasannya selanjutnya akan dibahas pada BAB II (pembahasan).








BAB II
PEMBAHASAN
A.     Karma / Kamma
Kita tahu bahwa konsep Karma disini termasuk salah satu konsep kesunyatan dalam ajaran agama Budhha. Karma itu sendiri berasal dari bahasa sangsekerta, secara singkat yang berarti”Perbutatan” yang mana setiap perbuatan itu ada akibatnya atau akibat itu didahului oleh sesuatu perbuatan. Maka Karma ialah suatu perwujudan dari perbuatan yakni meliputi semua jenis kehendak dan maksud maupun yang buruk dan baik, lahir dan batin jasmani maupun rohani. Maka dalam hal ini semua perbuatan yang dilakukan itu pasti akan menimbulkan sebuah akibat atas apa yang dilakukan diawal. Bisa dikatakan bahwa hal ini disebut dengan “Hukum Sebeb Akibat” atau “Hukum Kausalitas”. Selain itu juga dalam bahasa pali Karma itu disebut dengan Kamma[1].
Secara sifatnya Karma ini memiliki dua sifat yang menjadi salah satu akarnya yang Pertama, “Kusala-Kamma” yang berarti sebuah perbuatan baik, yang mana perbuatan ini dilakukan oleh Pikiran, Ucapan dan Badan. Sedangkan yang Kedua, Akusala-kamma yang berarti perbuatan buruk/jahat, perbuatan ini dilakukan sama seperti perbuatan yang diatas yaitu Pikiran, Ucapan dan Badan[2]. Sebuah akibat pasti ada penyebab awal dari perbuatan tersebut yaitu Loba (Keserakahan), Dosa (Kebencian) dan Moha (kebodohan).
Mungkin dalam pandangan agama Buddha ada sepuluh dari Karma baik ialah: Gemar beramal dan bermurah hati, hidup bersusila, sering melakukan meditasi, berendah diri dan hormat, berbakti, cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain, bersimpati kepada kebahagiaan orang lain, sering mendengarkan dharma, gemar menyebarkan dharma, dan meluruskan pandangan orang lain yang keliru. Sedangkan ada sepuluh dari perbutan buruk ini ialah: Pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berdusta, bergunjing, kata-kata atau ucapan kasar dan kotor, omong kosong, keserakahan, dendam, dan pandangan salah. Namun selain keduanya, agama Buddha juga mengajarkan adanya lima bentuk karma celaka, yaitu: membunuh ibu, membunuh ayah, membunuh orang suci, arahat, dan bodisttva, melukai seorang buddha, dan menyebabkan perpecahan dalam sangha. Kelima perbuatan durhaka tersebut mempunyai akibat yang sangat berat berat yaitu penitisan di alam neraka.
Mungkin kita beranggapan bahwa dalam konsep karma ini sama dengan konsep Kausalitas yang mana dalam pengertiannya hapir tidak jauh berbeda cuman pendekatannya saja yang berbeda. Hukum kausalitas ialah prinsip sebab-akkbat yang ilmu pengetahuan yang secara otomatis bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu lain : yang mana bahwa dari setiap kejadian itu memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan eksitesinya akibat sesuatu atau berbagai hal lain yang mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun. Kausalitas dibangun oleh hubungan antara suatu kejadian (sebab) dan kejadian kedua (akibat atau dampak), yang mana kejadian kedua dipahami sebagai konsekuensi dari yang pertama.
Melihat dari segi penjelasan diatas bahwa konsep karma ini memang tidak jauh berbeda dengan konsep kausalitas akan tetapi dari segi pendekatannya mungkin berdeda karena dalam konsep karma ini mencoba menjelaskan secara moralitas bagaimana manusia itu melakukan sesuatu maka ia akan mendapat sebuah imbalan dari prilakunya yang ia perbuat. Berbeda dengan halnya konsep kausalitas lebih kepada : bagaimana sebuah objek itu dapat berpengaruh terhadap sesuatu. Ya ngmungkin ini melalui sebuah sistematika penelitian dsb.

B.     Kelahiran Kembali atau Tumimbal Lahir (Punabbhava/Punarbhava)
Dalam tradisi dua agama yaitu agama hindu dan agama Buddha itu mereka mempercayai akan sebuah konsep kelahiran kembali, yang mungkin dalam agama Hindu mereka menyebutnya dengan Rengkarnasi dan dalam Agama Buddha itu menyebutnya dengan Tumimbal lahir atau dalam bahasa sangsekertanya itu disebut dengan Punarbhava[3]. Yang mana mungkin secara penjelasan itu berbeda akan tetapi merujuk pada satu makna. Disini kita tidak membicarakan akan perbedaan tetang keduanya pemakalah hanya menjabarkan tetang konsep yang menjadi sebuah keyakinan umat buddha.
Dalam ajaran buddha menyatakan bahwa hidup ini merupakan proses yang berkesniambungan dari hidup yang lampau, hidup yang sekarang dengan hidup yang akan datang. Dalam agama Buddha pengertian persoalan tumimbal lahir tidak semata-mata dihubungkan dengan persoalan roh atau setelah manusia meninggal. Yang mana Tumimbal Lahir ini memiliki sebuah makna yang luas, Tumimbal Lahir ini merupakan sebuah proses dari pada Karma/Kamma kita itu sendiri. Karena Tanha (keinginan) telah menjiwai diri kita dan menjadi sebeb kita berada sebagai individu beserta gerak hidup kita. Kesinambungan dan keterkaitan hidup ini berlangsung terus menerus karena adanya daya hidup yang berupa akibat perilaku dari prilaku-prilaku manusia yang telah dilakukan. Akan tetapi apabila manusia itu tidak memiliki daya hidup lagi, maka ia dikatakan mencapai kebebasannya dari hidup[4]. Maksud dari kebebasan ini bebas dari penderitaan atau Dukkha.
Tumimbal-Lahir dalam Budha berbeda dengan konsep reinkarnasi didalam agama Hindu, karena Tumimbal-lahir dalam Budha memulai proses individu dari awal dengan jiwa dan raga yang baru dengan kemungkinan buruk atau baik. Agama Buddha tidak menganut ajaran tentang adanya perpindahan roh (transmigrasi atau reinkarnasi), tidak ada sesuatu yang meninggalkan tubuh setelah meninggal dunia dan memasuki tubuh lain[5].
Selain itu juga ada 4 macam Tumimbal Lahir dari pada Makhluk-makhluk[6] :
1.      Ada makhluk yang lahir dari kandungan dalam bahasa pali disebut dengan Jalabuja-Yoni.
Misalnya : Manusia, Kuda, Sapi Dll.
2.      Ada makhluk yang lahir dari telur, dalam bahasa Pali menyebutnya dengan Andaja-Yoni.
Misalnya : Burung, Ayam, Ular, Dll.
3.      Ada makhluk dari kelembapan dalam atau dalam bahasa palinya Sansedaja-Yoni.
Misalnya : Nyamuk, Ikan, Dll.
4.      Ada makhluk yang lahir secara spontan, lansung membesar misalnya : Dewa, Brahma, dan Makhluk neraka yang lainnya.  
Selanjutnya terdapat pula 4 macam Tumimbal-lahir secara Penyambung-kelahiran (Patisandhi) di 31 alam kehidupan, yaitu:
1.      Bertumimbal lahir di Alam Kehidupan yang menyedihkan (alam apaya), yang terdiri dari Alam Neraka, Alam Binatang, Alam Setan, dan Alam Raksasa (Apayapatisandhi).
2.      Bertumimbal-lahir di Alam Nafsu Yang Menyenangkan (Alam Kamasugati), yang terdiri dari sebuah Alam Manusia dan enam alam-alam Dewa (Kamasugatipatisandhi).
3.      Bertumimbal-lahir di  Alam yang masih mempunyai bentuk, yang terdiri dari enam alam-alam Dewa (Kamasugatipatisandhi).
4.      Bertumimbal-lahir di  Alam yang masih mempunyai bentuk, yang terdiri dari enam belas Alam (Rupavacarapatisandhi).
5.      Bertumimbal-lahir di Alam yang tidak terbentuk, yang terdiri dari empat Alam (Arupavacarapatisandhi).
Kematian menurut agama Budha, adalah pengehntian dari kehidupan batin-jasmani dari setiap keberadaan individu.Hal ini adalah lenyapnya kekuatan (ayu), yaitu, kehidupan batin dan jasmani (jivitindriya), panas (usma), dan kesadaran (vinnana). Kematian bukan merupakan penghancuran yang menyeluruh dari suatu makhluk, walaupun suatu masa kehidupan tertentu berakhir, kekuatan yang sampai sekarang ini bergerak tidak dihancurkan.

C.     Genetika Buddha
Ilmu Genetika adalah studi mengenai physiology tentang reproduksi (menurunkan jenis, mempunyai keturunan) dan ketrampilan mengembang-biakkan tanam-tanaman dan hewan-hewan. Semua warisan (heredity) itu ditransmisi-kan (diliyerkan) dari satu generasi ke generasi berikutnya, melalui cel-cel sex yang sangat kecil, yang dinamai sperm (mani, pada pria) dan ova (telur, pada wanita). Kedua sel itu bergabung didalam rahim, untuk membentuk telur yang dibuahi, yang tumbuh menjadi foetus (janin bayi) dan akhirnya lahirlah seorang bayi.[7] Ayah dan ibu itu keduanya penting didalam transmisi, atau peliyeran, warisan. Inti-inti dari cel-cel sex itu berisi chromosome-chromosome, dan setiap sperma manusia itu berisi 24 chromosome, separo (setengah) dari jumlah itu berisi cel-cel yang normal, dan jumlah ini bervariasi pada hewan-hewan lainnya dan pada tanam-tanaman.
Prinsip dari pengertian genetika perlu dikuasai untuk mempelajari sifat kejiwaan. Hubungannya merupakan sebab terdekat adanya kemiripan baik fisik maupun sifat bahkan nasib pada suatu garis keturunan sedangkan dari Agama Buddha kenapa seorang anak bisa dikatakan mirip dengan kedua orang-tuanya karena kecocokan kamma. Jadi, seseorang tersebut dapat terlahir di satu keluarga yang sama. Menurut Abhidhamma rupa (fisik) disebabkan oleh Kamma, Citta, Utu dan Ahara.
Buddhisme menyatakan bahwa sel-sel tubuh tak dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak dikenal bahwa masing-masing sel, jaringan, maupun organ di tubuh kita itu memiliki unsur batiniah (Pali: nama). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah termasuk makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan (bersatunya ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel yang akan tumbuh menjadi fetus melalui proses yang dikenal sebagai embryogenesis. Bayi yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa).
Badan Pembinaan Hukum Nasional (2012) menjelaskan pada therapeutic cloning (kloning jaringan dan organ), stem cell terbentuk sekitar 4-5 hari setelah pembuahan (fertilization). Dalam tahap ini, tidak ditemukan bukti-bukti adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tak akan berfungsi, maka patut kita teliti kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis ini.[8] Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan. Ini adalah saat yang paling awal embryo tersebut dapat dikatakan memiliki sistem syaraf. Saat ini sistem syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya masih jauh dari selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di hari 4-5 post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup. Dan pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tak dianggap sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup, yakni belum terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka therapeutic cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tak dapat disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktek therapeutic cloning seharusnya tidak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
Menanggapi reproductive cloning, buddhisme berpendapat bahwa munculnya/terbentuk nya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin. Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimba lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimba lahir ini. Di sini tidak dikenal adanya ‘ego’ (roh, inti, keabadian mutlak), dan makhluk hidup terus bertumimba lahir dikarenakan kegelapan batin ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pali: paticcasamupada) , yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Dengan berakhirnya penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya. Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha.[9]
Secara singkat, hukum paticcasamuppada dapat dirumuskan sebagai berikut :
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
Imasmiṃ sati, idaṃ hoti.
Imass’ uppādā, idaṃ uppajjati.
Imasmiṃ asati, idaṃ na hoti.
Imassa nirodhā, idhaṃ nirujjhati.

Kloning sebenarnya bukanlah proses ilmiah yang aneh dalam pandangan Buddhisme karena Buddhisme selalu memandang segala sesuatu sebagai rantaian sebab akibat. Proses cloning hanya dapat berhasil setelah ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni embrio dapat terbentuk dari hasil pembelahan sel ovum yang bernucleus diploid (2 set kromosom). Dengan menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan embrio, maka tak heran bayi akan terbentuk. Jadi bila kondisi yang tepat ada, maka akan bersatulah unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) yang kemudian akan lahir menjadi seorang bayi.
Banyak bukti-bukti yang menunjukan bahwa clone memiliki abnormalitas yang belum jelas penyebabnya. Ilmuwan berpendapat bahwa inti sel yang diambil dari induk tersebut mungkin tak optimal untuk dipakai dalam kloning karena semakin pendeknya telomer (ujung DNA akan menjadi semakin pendek setiap kali sel membelah diri). Banyak clone yang tak dapat hidup sepanjang usia induk mereka. Maka ilmuwan seharusnya memikul tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya reproductive cloning tidak dipraktekkan, apalagi dalam skala besar, sampai setelah permasalahan teknis ini telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk menanggani permasalahan teknis ini diperlukan percobaan, eksperimen.
Terdapat studi yang sangat menarik terhadap anak-anak kembar, yaitu studi terhadap anak-anak kembar, yang dilahirkan dari telur-telur yang dibuahi secara terpisah, dengan studi terhadap anak-anak kembar, yang dilahirkan dari satu telur yang dibuahi, yang menghasilkan dua anak kembar. Adalah bersifat alamiah bagi anak kembar, yang dilahirkan dari telur-telur yang dibuahi secara terpisah, yang hasilnya menunjukkan kesamaan warisan (hereditary) yang berkeadaan berbeda, sebagai saudara-saudara perempuan dan saudara-saudara laki-laki yang biasa. Tetapi itu tidak benar bagi anak kembar dua yang identik, yang dilahirkan dari satu telur yang dibuahi dan lalu menjadi dua anak kembar.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa dalam penjelasan yang telah dipaparkan di atas bagaimana kesinambungan dengan konsep karma, dan tumimballahir yang berhubungan dengaan genetika. Kita tahu bahwa karma adalah
Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan manusia untuk melakukan rekayasa genetika. Manusia dapat melakukan Cloning makhluk hidup, proses bayi tabung, penjualan sperma ke bank sperma dan sebagiannya, dimana semua itu dapat memudahkan mausia untuk memlih jenis keturunan yang terbaik (menurut manusia). Dengan bantuan teknologi seorang ibu bisa memiliki anak yang mewarisi gan-gen terbaik.
Teknologi telah berkembangan semakin maju, namun tdak dapat melebihi kecanggihan hokum karma yang diajarkan budhha. Dalam dalam maha kamma vibhanga sutta, Buddha menjelaksan bahwa bentuk fisik seorang juga dipengaruhi oleh perbuatan lampaunya (karma lampau). Seorang yang penuh cinta kasih, tidak pernah dapat dilahirkan menjadi orang yang tampan atau cantik (M.III.135). conth itu dapat memberi gambaran bahwa hukum karma dapat digunakan sebagai rekayasa genetika karma yang baik akan menjadi energy pendorong dilahirkan kembali dilingkungan yang baik, orang tua yang baik, bentuk fisik yang baik dan menarik.
Kecanggihan teknologi genetika belum mampu menjamah secara total kehidupan manusia teknologi dapat memanipulasi bentuk fisik tetapi dapat berbuat apa apa terhadap aspek psikis (moral, watak, intelektual, dll) aspek-aspek psikis tersebut hanya dapat dimanupalisai dengan karma. Karma memliki energy yang lebih kuat dalam peranannya membentuk manusia baru dalam proses kelahiran kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang BudhadanAjaran-AjaranNya, Bag. 2
MajelisBudhayana Indonesia, KebahagiaanDalamDhamma, (Jakarta: 1980)
Djam’annuri, Agama Kita, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009)
Kirthisinghe,Buddhadasa p, Buddhism dan science, bag2
https://id.wikipedia.org/wiki/Paticcasamuppada diakses pada tanggal 15-11-2016



[1] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang BudhadanAjaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 69
[2] MajelisBudhayana Indonesia, KebahagiaanDalamDhamma, (Jakarta: 1980), h.150
[3] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 70
[4] Djam’annuri, Agama Kita, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009), h. 70

[5] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 159
[6] Ibid, h. 72
[7] Kirthisinghe,Buddhadasa p, Buddhism dan science, bag2, h.63

[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Paticcasamuppada diakses pada tanggal 15-11-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar