Makalah
Karma, tumimbal lahir dan genetika buddha
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Agama dan Sains
Dosen
: Edwin Syafir, M.A.
Di susun oleh:
M. Rahmat Ramadhan (1113032100036)
Jurusan perbandingan agama
Fakultas ushuluddin
Universitas islam negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2016
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………….2
Latar
Belakang Masalah …………………………………………………………………....2
BAB II
PEMBAHASAN …………………………………………………………………………..4
Karma / Kamma……………………………………………………………………………4
Kelahiran Kembali / Tumimbal Lahir……………………………………………………......
5
Genetika
Buddha …………………………………………………………………………...8
BAB III PEUTUP ………………………………………………………………………………....12
Kesimpulan
………………………………………………………………………………..12
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tidak
dipungkiri lagi bahwa semakin kesini zaman semakin modern dan semakin
berkembang. Salah satu berkembangya suatu zaman itu ditandai dengan
perkembangan ilmu pengetahuaannya yang dapat menimbulkan sebuah inofasi-inofasi
baru sehingga dapat mempermudah dan memabantu kegiatan manusia. Memang sains seperti di zaman
modern ini sangat dibutuhkan untuk perkembangan sebuah ilmu pengetahuan.
Terlepas dari hal tersebut sebagai umat yang beragama mungkin kita tidak juga bisa
meninggalakan nilai nilai keimanan kita terhadap apa yang kita percayai. Karena
terkadang perspektif apa yang diutarakan oleh sains itu berbeda dengan apa yang
dinyatakan oleh agama.
Disini kita ingin melihat sejauh
mana sebuah peran sains itu bisa berintegrasi dengan agama yang mungkin ilmu juga berasal dari
suatu kepercayaan seseorang. Memang banyak hambatan yang selalu menerjang
antara sais dan agama yang mana terkadang teori teori yang disajikan oleh sain
itu bisa menjadi sebuah ketidaksingkronan dengan agama dan terkadangan dengan
sains juga menimbulkan sebuah degredasi keimanan.
Pada dasarnya pemakalah tidak
berujuk secara spesipik keranah tersebut akan tetapi pemakalah ingin
menjelaskan bahwa ada sebuah konsepsi yang tertanam dalam doktrin keagaamaan, mungkin
berhubungan dengan sains yang nantinya terdapat sebuah hubungan antara sains
dan agama. Kebetulan kali ini kita membahas tentang sebuah doktin tentang karma
yang dianut oleh umat Buddha dan kelahiran kembali yang mungkin umat Buddha
mengenalnya dengan Tumimballahir selain itu juga kita akan mencoba untuk
melihat secara ilmu pengetahuan atau sains yang berhubungan dengan hal itu
yaitu dengan ilmu genetika.
Dalam sebuah doktrin agama Buddha
terdapat sebuah konsepsi tentang Karma yang mana mereka mengangapnya sebuah
perbuatan enteh buruk dan baik maka akan dibalas sesuai dengan perbuatan awal
yang ia lakukan, mungkin ini sebuah balasan atas apa yang telah dilakukan oleh
manusia. Dalam konsep ini akibat dari perbutan yang telah dilakukan oleh manusia
itu bisa terjadi ketika ia hidup dan bisa terjadi setelah ia meninggal. Ada
sebuah perbedaan ketika karma itu terjadi setelah meninggal atau setelah mati
maka manusia itu masuk kepada konsep Tumimbal lahir atau kelahiran kembali.
Mungkin kita tahu bahwa tujuan dari pada umat Buddha ialah Nibbana atau
kesunyatan yang berada jauh di alam syurga sana. Sebelum mereka itu mencapai
Nibbana seseorang yang terlibat dalam Tumimballahir harus menyelesaikan dulu
proses tersebut. Tumimbal lahir ini merupakan Karma atas perbuatannya ketika
hidup awalnya atau ketika ia pertama hidup misalnya si A terlah berbuat
seseuatu yang tidak baik maka apa bila balasannya itu tidak ia dapatkan ketika
hidup maka ia dapatkan ketita setelah mati dan ia akan kembali lagi menjelma
menjadi sesuatu entah binatang, tumbuhan dll. Yang
pastinya wujud dan fisikya yang berbeda yang sama hanya rohnya saja. Mungkin
penjelasannya selanjutnya akan dibahas pada BAB II (pembahasan).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karma / Kamma
Kita
tahu bahwa konsep Karma disini termasuk salah satu konsep kesunyatan dalam
ajaran agama Budhha. Karma itu sendiri berasal dari bahasa sangsekerta, secara
singkat yang berarti”Perbutatan” yang
mana setiap perbuatan itu ada akibatnya atau akibat itu didahului oleh sesuatu
perbuatan. Maka Karma ialah suatu perwujudan dari perbuatan yakni meliputi
semua jenis kehendak dan maksud maupun yang buruk dan baik, lahir dan batin
jasmani maupun rohani. Maka dalam hal ini semua perbuatan yang dilakukan itu pasti
akan menimbulkan sebuah akibat atas apa yang dilakukan diawal. Bisa dikatakan
bahwa hal ini disebut dengan “Hukum Sebeb
Akibat” atau “Hukum Kausalitas”.
Selain itu juga dalam bahasa pali Karma itu disebut dengan Kamma[1].
Secara
sifatnya Karma ini memiliki dua sifat yang menjadi salah satu akarnya yang Pertama, “Kusala-Kamma” yang berarti sebuah perbuatan baik, yang mana
perbuatan ini dilakukan oleh Pikiran, Ucapan dan Badan. Sedangkan yang Kedua, Akusala-kamma yang berarti
perbuatan buruk/jahat, perbuatan ini dilakukan sama seperti perbuatan yang
diatas yaitu Pikiran, Ucapan dan Badan[2].
Sebuah akibat pasti ada penyebab awal dari perbuatan tersebut yaitu Loba
(Keserakahan), Dosa (Kebencian) dan Moha (kebodohan).
Mungkin dalam pandangan agama Buddha
ada sepuluh dari Karma baik ialah: Gemar beramal dan bermurah hati, hidup
bersusila, sering melakukan meditasi, berendah diri dan hormat, berbakti,
cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain, bersimpati kepada
kebahagiaan orang lain, sering mendengarkan dharma, gemar menyebarkan dharma,
dan meluruskan pandangan orang lain yang keliru. Sedangkan ada sepuluh dari
perbutan buruk ini ialah: Pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berdusta,
bergunjing, kata-kata atau ucapan kasar dan kotor, omong kosong, keserakahan,
dendam, dan pandangan salah. Namun selain keduanya, agama Buddha juga
mengajarkan adanya lima bentuk karma celaka, yaitu: membunuh ibu, membunuh
ayah, membunuh orang suci, arahat, dan bodisttva, melukai seorang buddha, dan
menyebabkan perpecahan dalam sangha. Kelima
perbuatan durhaka tersebut mempunyai akibat yang sangat berat berat yaitu
penitisan di alam neraka.
Mungkin
kita beranggapan bahwa dalam konsep karma ini sama dengan konsep Kausalitas
yang mana dalam pengertiannya hapir tidak jauh berbeda cuman pendekatannya saja
yang berbeda. Hukum kausalitas ialah prinsip sebab-akkbat yang ilmu pengetahuan
yang secara otomatis bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan
perantaraan ilmu lain : yang mana bahwa dari setiap kejadian itu memperoleh
kepastian dan keharusan serta kekhususan eksitesinya akibat sesuatu atau
berbagai hal lain yang mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa
ragu dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem
kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia yang telah dikenal bersama dan
tidak diliputi keraguan apapun. Kausalitas dibangun oleh hubungan antara suatu
kejadian (sebab) dan kejadian kedua (akibat atau dampak), yang mana kejadian
kedua dipahami sebagai konsekuensi dari yang pertama.
Melihat dari segi penjelasan
diatas bahwa konsep karma ini memang tidak jauh berbeda dengan konsep
kausalitas akan tetapi dari segi pendekatannya mungkin berdeda karena dalam
konsep karma ini mencoba menjelaskan secara moralitas bagaimana manusia itu
melakukan sesuatu maka ia akan mendapat sebuah imbalan dari prilakunya yang ia
perbuat. Berbeda dengan halnya konsep kausalitas lebih kepada : bagaimana
sebuah objek itu dapat berpengaruh terhadap sesuatu. Ya ngmungkin ini melalui
sebuah sistematika penelitian dsb.
B. Kelahiran Kembali atau Tumimbal Lahir
(Punabbhava/Punarbhava)
Dalam
tradisi dua agama yaitu agama hindu dan agama Buddha itu mereka mempercayai
akan sebuah konsep kelahiran kembali, yang mungkin dalam agama Hindu mereka
menyebutnya dengan Rengkarnasi dan
dalam Agama Buddha itu menyebutnya dengan Tumimbal
lahir atau dalam bahasa sangsekertanya itu disebut dengan Punarbhava[3].
Yang mana mungkin secara penjelasan itu berbeda akan tetapi merujuk pada
satu makna. Disini kita tidak membicarakan akan perbedaan tetang keduanya
pemakalah hanya menjabarkan tetang konsep yang menjadi sebuah keyakinan umat
buddha.
Dalam ajaran buddha menyatakan
bahwa hidup ini merupakan proses yang berkesniambungan dari hidup yang lampau,
hidup yang sekarang dengan hidup yang akan datang. Dalam agama Buddha pengertian
persoalan tumimbal lahir tidak semata-mata dihubungkan dengan persoalan roh
atau setelah manusia meninggal. Yang mana Tumimbal Lahir ini memiliki sebuah
makna yang luas, Tumimbal Lahir ini merupakan sebuah proses dari pada
Karma/Kamma kita itu sendiri. Karena Tanha (keinginan) telah menjiwai diri kita
dan menjadi sebeb kita berada sebagai individu beserta gerak hidup kita.
Kesinambungan dan keterkaitan hidup ini berlangsung terus menerus karena adanya
daya hidup yang berupa akibat perilaku dari prilaku-prilaku manusia yang telah
dilakukan. Akan tetapi apabila manusia itu tidak memiliki daya hidup lagi, maka
ia dikatakan mencapai kebebasannya dari hidup[4].
Maksud dari kebebasan ini bebas dari penderitaan atau Dukkha.
Tumimbal-Lahir dalam Budha
berbeda dengan konsep reinkarnasi didalam agama Hindu, karena Tumimbal-lahir
dalam Budha memulai proses individu dari awal dengan jiwa dan raga yang baru
dengan kemungkinan buruk atau baik. Agama Buddha tidak menganut ajaran tentang
adanya perpindahan roh (transmigrasi atau reinkarnasi), tidak ada sesuatu yang
meninggalkan tubuh setelah meninggal dunia dan memasuki tubuh lain[5].
Selain itu juga ada 4 macam
Tumimbal Lahir dari pada Makhluk-makhluk[6] :
1.
Ada makhluk yang lahir dari kandungan dalam bahasa pali
disebut dengan Jalabuja-Yoni.
Misalnya :
Manusia, Kuda, Sapi Dll.
2.
Ada makhluk yang lahir dari telur, dalam bahasa Pali
menyebutnya dengan Andaja-Yoni.
Misalnya : Burung, Ayam, Ular,
Dll.
3.
Ada makhluk dari kelembapan dalam atau dalam bahasa
palinya Sansedaja-Yoni.
Misalnya : Nyamuk, Ikan, Dll.
4. Ada makhluk yang lahir secara spontan,
lansung membesar misalnya : Dewa, Brahma, dan Makhluk neraka yang lainnya.
Selanjutnya terdapat pula 4 macam
Tumimbal-lahir secara Penyambung-kelahiran (Patisandhi)
di 31 alam kehidupan, yaitu:
1.
Bertumimbal
lahir di Alam Kehidupan yang menyedihkan (alam
apaya), yang terdiri dari Alam Neraka, Alam Binatang, Alam Setan, dan Alam
Raksasa (Apayapatisandhi).
2.
Bertumimbal-lahir
di Alam Nafsu Yang Menyenangkan (Alam
Kamasugati), yang terdiri dari sebuah Alam Manusia dan enam alam-alam Dewa
(Kamasugatipatisandhi).
3.
Bertumimbal-lahir
di Alam yang masih mempunyai bentuk,
yang terdiri dari enam alam-alam Dewa (Kamasugatipatisandhi).
4.
Bertumimbal-lahir
di Alam yang masih mempunyai bentuk,
yang terdiri dari enam belas Alam (Rupavacarapatisandhi).
5.
Bertumimbal-lahir
di Alam yang tidak terbentuk, yang terdiri dari empat Alam (Arupavacarapatisandhi).
Kematian menurut agama Budha, adalah pengehntian dari
kehidupan batin-jasmani dari setiap keberadaan individu.Hal ini adalah
lenyapnya kekuatan (ayu), yaitu,
kehidupan batin dan jasmani (jivitindriya),
panas (usma), dan kesadaran (vinnana). Kematian bukan merupakan
penghancuran yang menyeluruh dari suatu makhluk, walaupun suatu masa kehidupan
tertentu berakhir, kekuatan yang sampai sekarang ini bergerak tidak
dihancurkan.
C.
Genetika
Buddha
Ilmu Genetika adalah studi
mengenai physiology tentang reproduksi (menurunkan jenis, mempunyai keturunan)
dan ketrampilan mengembang-biakkan tanam-tanaman dan hewan-hewan. Semua warisan
(heredity) itu ditransmisi-kan (diliyerkan) dari satu generasi ke generasi
berikutnya, melalui cel-cel sex yang sangat kecil, yang dinamai sperm (mani,
pada pria) dan ova (telur, pada wanita). Kedua sel itu bergabung didalam rahim,
untuk membentuk telur yang dibuahi, yang tumbuh menjadi foetus (janin bayi) dan
akhirnya lahirlah seorang bayi.[7] Ayah
dan ibu itu keduanya penting didalam transmisi, atau peliyeran, warisan.
Inti-inti dari cel-cel sex itu berisi chromosome-chromosome, dan setiap sperma
manusia itu berisi 24 chromosome, separo (setengah) dari jumlah itu berisi
cel-cel yang normal, dan jumlah ini bervariasi pada hewan-hewan lainnya dan
pada tanam-tanaman.
Prinsip dari pengertian genetika perlu dikuasai
untuk mempelajari sifat kejiwaan. Hubungannya merupakan sebab terdekat adanya
kemiripan baik fisik maupun sifat bahkan nasib pada suatu garis keturunan
sedangkan dari Agama Buddha kenapa seorang anak bisa dikatakan mirip dengan
kedua orang-tuanya karena kecocokan kamma. Jadi, seseorang tersebut dapat terlahir di satu keluarga yang sama. Menurut Abhidhamma rupa (fisik) disebabkan oleh Kamma, Citta, Utu dan Ahara.
Buddhisme menyatakan bahwa sel-sel tubuh tak
dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak dikenal bahwa masing-masing sel,
jaringan, maupun organ di tubuh kita itu memiliki unsur batiniah (Pali: nama). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah termasuk makhluk
hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan (bersatunya
ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel yang akan
tumbuh menjadi fetus melalui proses yang dikenal sebagai embryogenesis. Bayi
yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa).
Badan
Pembinaan Hukum Nasional (2012) menjelaskan pada therapeutic cloning
(kloning jaringan dan organ), stem cell terbentuk sekitar 4-5 hari
setelah pembuahan (fertilization). Dalam tahap ini, tidak ditemukan bukti-bukti
adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem
syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tak akan berfungsi, maka patut
kita teliti kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis
ini.[8]
Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai
neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan. Ini
adalah saat yang paling awal embryo tersebut dapat dikatakan memiliki sistem
syaraf. Saat ini sistem syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya
masih jauh dari selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di
hari 4-5 post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk
hidup. Dan pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tak
dianggap sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup,
yakni belum terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka
therapeutic cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tak
dapat disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktek therapeutic
cloning seharusnya tidak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis (Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
Menanggapi reproductive cloning, buddhisme
berpendapat bahwa munculnya/terbentuk nya makhluk hidup bukanlah berasal dari
hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin. Karena kegelapan batin
inilah, makhluk bertumimba lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka
lenyap juga tumimba lahir ini. Di sini tidak dikenal adanya ‘ego’ (roh, inti,
keabadian mutlak), dan makhluk hidup terus bertumimba lahir dikarenakan
kegelapan batin ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pali:
paticcasamupada) , yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya
penyebab. Dengan berakhirnya penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya.
Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat dikatakan bertentangan
dengan ajaran Buddha.[9]
Secara singkat, hukum
paticcasamuppada dapat dirumuskan sebagai berikut :
Dengan adanya ini, maka
terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
Imasmiṃ sati, idaṃ hoti.
Imass’ uppādā, idaṃ uppajjati.
Imasmiṃ asati, idaṃ na hoti.
Imassa nirodhā, idhaṃ nirujjhati.
Imass’ uppādā, idaṃ uppajjati.
Imasmiṃ asati, idaṃ na hoti.
Imassa nirodhā, idhaṃ nirujjhati.
Kloning sebenarnya bukanlah proses ilmiah yang aneh
dalam pandangan Buddhisme karena Buddhisme selalu memandang segala sesuatu
sebagai rantaian sebab akibat. Proses cloning hanya dapat berhasil setelah
ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni embrio dapat terbentuk dari hasil
pembelahan sel ovum yang bernucleus diploid (2 set kromosom). Dengan
menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan embrio, maka tak heran bayi
akan terbentuk. Jadi bila kondisi yang tepat ada, maka akan bersatulah unsur
batiniah (nama) dan fisik (rupa) yang kemudian akan lahir menjadi seorang bayi.
Banyak bukti-bukti yang menunjukan bahwa clone
memiliki abnormalitas yang belum jelas penyebabnya. Ilmuwan berpendapat bahwa
inti sel yang diambil dari induk tersebut mungkin tak optimal untuk dipakai
dalam kloning karena semakin pendeknya telomer (ujung DNA akan menjadi semakin
pendek setiap kali sel membelah diri). Banyak clone
yang tak dapat hidup sepanjang usia induk mereka. Maka ilmuwan seharusnya
memikul tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya reproductive cloning
tidak dipraktekkan, apalagi dalam skala besar, sampai setelah permasalahan
teknis ini telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk menanggani
permasalahan teknis ini diperlukan percobaan, eksperimen.
Terdapat studi yang sangat menarik
terhadap anak-anak kembar, yaitu studi terhadap anak-anak kembar, yang
dilahirkan dari telur-telur yang dibuahi secara terpisah, dengan studi terhadap
anak-anak kembar, yang dilahirkan dari satu telur yang dibuahi, yang
menghasilkan dua anak kembar. Adalah bersifat alamiah bagi anak
kembar, yang dilahirkan dari telur-telur yang dibuahi secara terpisah, yang
hasilnya menunjukkan kesamaan warisan (hereditary) yang berkeadaan berbeda,
sebagai saudara-saudara perempuan dan saudara-saudara laki-laki yang biasa.
Tetapi itu tidak benar bagi anak kembar dua yang identik, yang dilahirkan dari
satu telur yang dibuahi dan lalu menjadi dua anak kembar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa dalam penjelasan yang telah
dipaparkan di atas bagaimana kesinambungan dengan konsep karma, dan
tumimballahir yang berhubungan dengaan genetika. Kita tahu bahwa karma adalah
Perkembangan ilmu dan teknologi
memungkinkan manusia untuk melakukan rekayasa genetika. Manusia dapat melakukan
Cloning makhluk hidup, proses bayi tabung, penjualan sperma ke bank sperma dan
sebagiannya, dimana semua itu dapat memudahkan mausia untuk memlih jenis
keturunan yang terbaik (menurut manusia). Dengan bantuan teknologi seorang ibu
bisa memiliki anak yang mewarisi gan-gen terbaik.
Teknologi telah berkembangan
semakin maju, namun tdak dapat melebihi kecanggihan hokum karma yang diajarkan
budhha. Dalam dalam maha kamma vibhanga sutta, Buddha menjelaksan bahwa bentuk
fisik seorang juga dipengaruhi oleh perbuatan lampaunya (karma lampau). Seorang
yang penuh cinta kasih, tidak pernah dapat dilahirkan menjadi orang yang tampan
atau cantik (M.III.135). conth itu dapat memberi gambaran bahwa hukum karma
dapat digunakan sebagai rekayasa genetika karma yang baik akan menjadi energy
pendorong dilahirkan kembali dilingkungan yang baik, orang tua yang baik,
bentuk fisik yang baik dan menarik.
Kecanggihan teknologi genetika
belum mampu menjamah secara total kehidupan manusia teknologi dapat
memanipulasi bentuk fisik tetapi dapat berbuat apa apa terhadap aspek psikis
(moral, watak, intelektual, dll) aspek-aspek psikis tersebut hanya dapat
dimanupalisai dengan karma. Karma memliki energy yang lebih kuat dalam
peranannya membentuk manusia baru dalam proses kelahiran kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang
BudhadanAjaran-AjaranNya, Bag. 2
MajelisBudhayana Indonesia, KebahagiaanDalamDhamma,
(Jakarta: 1980)
Djam’annuri, Agama Kita,
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009)
Kirthisinghe,Buddhadasa p, Buddhism dan science, bag2
http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_2012_-_4.pdf diakses pada tanggal 15-11-2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Paticcasamuppada diakses pada tanggal 15-11-2016
[7]
Kirthisinghe,Buddhadasa p, Buddhism dan science, bag2, h.63
[8] http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_2012_-_4.pdf
diakses pada tanggal 15-11-2016
[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Paticcasamuppada
diakses pada tanggal 15-11-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar