Makalah
New religion
movement dan pendekatan ilmu sosial
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah New Religion Movement
Dosen
: Sri Mulyati, Dr, MA
Di susun oleh:
M. Rahmat Ramadhan (1113032100036)
Jurusan perbandingan agama
Fakultas ushuluddin
Universitas islam negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2016
BAB I
Pendahuluan
Agama yang dalam
kerangka positivisme sering disetarakan dengan “mitos” dan karena itu
diramalkan akan tenggelam dilibas kekuatan “ideologis” dan “ilmu pengetahuan”,
kini semakin menunjukkann eksistensinya. Bahkan, perhatian terhadap agama
sekarang ini tidak saja bersifat teologis, yakni dengan meningginya minat
menjalani kehidupan yang diyakini berlandaskan ajaran suatu agama, atau yang
terkenal dengan istilah kebangkitan agama-agama. Dan, kebangkitan agama disini
tidak hanya merujuk pada agama-agama besar saja, tetapi juga pada sekte-sekte
spiritual kecil, agama-agama kuno, dan berbagai macam sinkretisme dan ekletisme
agama baru. Kenyataan inilah yang pada gilirannya mendorong minat ilmiah
terhadap agama.
Makalah ini
mencoba membahas tentang pengenalan awal mengenai berbagai pendekatan terhadap
agama, yang mana mencoba menggambarkan potret nyata studi keagamaan dengan
metode tradisi penelitian akademik yang terpadu, yang bertujuan memberikan
gambaran mengenai agama.
Adapun berbagai
pendekatan yang akan dibahas yaitu pendekatan antropologis, fenomenologis,
feminis, filosofis, sosiologis, psikologis, dan teologis. Meskipun tampak
berdasar pada pembelahan disiplin ilmu secara tradisional, ia tak lebih
merupakan penyederhanaan dan ujungnya sifat interdisiplin terhadap agama. Dalam
studi Barat sendiri studi agama tidak untuk mendidik para pendeta dan pastur,
serta dimaksudnkan untuk mengekspresikan keyakinan masih di anggap baru. Oleh
karena itu, tuntutat agar berbagai pendekatan terhadap agama bersifat agnostik
mungkin agak mencengangkan, dan usulan membentuk teologi global berkaitan
dengan gejala globalisasi yang agama sendiri menjadi contoh nyatanya hal ini
layak direnungkan.
BAB II
Pembahasan
Pendekatan
Antropologis
a.)
Perkembangan
Historis Pendekatan Antropologis
Antropologi bermula
pada abad ke 19 sebagai penelitian terhadap asal usul manusia, yang mencakup
pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat
dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia apakah yang
paling tua dan tetap bertahan (survive). Para Antropolog abad ke-19
adalah evolusionis yang berpendapat bahwa seluruh masyarakat dianggap berada
dalam proses evolusi, namun evolusi tersebut tidak merata. Ada masyarakat yang
maju, ada yang kurang berkembang dan ada juga masyarakat yang masih primitif.
Dalam masyarakat yang maju, strata sosial tentu dianggap masih memelihara
kebiasaan dan modrl serta pemikiran zaman sebelumnya. Mereka itulah para petani
yang tinggal di bagian negara yang terpencil secara geografis. Masyarakat yang
maju memandang bahwa masyarakat primitif sama seperti anak-anak yang
membutuhkan pendidikan suatu corak peradaban
Pandangan tentang
sejarah dan masyarakat semacam ini memperoleh dukungan dari krya Darwin tentang
evolusi biologis. Meski demikian pandangan tersebut tidak tergantung pada teori
Darwin. Karena pandangan mereka lebih dahulu muncul dari teori Darwin. Namun
pada era kolonial teori evolusi sosial ham[ir tidak dapaty diterima. Walaupun
dalam budaya dan perbincangan sehari-hari teori itu tetap hidup.
Menurut para
Antropolog, pada abad ke-19 masyarakat dan agama primitif memiliki daya tarik
yang luar biasa karena perilaku mereka yang aneh dan tidak dikenal serta cara
mereka menolak kepalsuan dan meruntuhkan agama. Tetapi para Arkeolog masih
memperdebatkan apa bentuk agama yang kuno. Apakah bentuk agama itu animisme
atautakah totemisme (penyembahan terhadap totem sebagai objek yang agung).
Pembahasan tentang
perkembangan historis tentang pendekatan Antropologis telah lama dibahas, pembahasan
itu dimulai dari adanya dua karya yang sangat berbeda yaitu The Golden Bough
karya Sir James Farzer dan The Element Forms of Religious Life karya
Emil Durkheim. Dalam bukunya, Frazer mengemukakan suatu skema evolusi
sederhana, suatu ekspresi dari keyakinan rasionalisme sejarah manusia melalui
tiga fase yang secara berurutan didomonasi oleh : magic, agama dan ilmu.
Sedangkan Durkheim, dengan bukunya memberikan sebuah teori yang memberikan
inspirasi bagi Antropolog-antropolog setelahnya, baik fungsional struktural
maupun strukturalis yang sama sekali menolak evolusionisme. Menurut Durkheim
dalam teori agamanya pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama
adalah benar menurut mode masing-masing semua memenuhi kondisi-kondisi tertentu
dari eksistensi manusia meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Contohya adalah
Aborigin yang dia yakini sebagai agama yang sederhana dan paling primitif
dimana penelitian dapat memberikan pengetahuan kepada kita. Agama-agama
primitif dapat menjelaskan watak kehidupan dengan baik.
Durkheim
mengkritik definisi agama sebagai keyakinan pada supranatural atau keyakinan
pada Tuhan atau zat yang spiritual. Menurutnya agama adalah kesatuan sistem
keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang sacred, yakni
segala sesuatu yang terasingkan dan terlarang keyakinan-keyakinan dan
praktek-praktek yang menyati dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja,
dimana semua orang tunduk kepadanya.
Pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20, para Antropolog masih berbeda pendapat tentang
totemisme yang menjadi bentuk agama yang paling awal. Di Aronta setiap klan
memiliki totam yang bagi mereka merupakan hak yang sacred namun tidak bagi yang
lain. Disana terjadi perlakuan yang bersifat pengorbanan yang bersifat totem.
Misalnya anggota Klan dilarang membunuhnya.
Dalam perjelanan
evolusionisme pada abad ke-19 menjadi inti pandangan Karl Mark (1818-1883) dan
Mark Weber (1864-1920). Mereka membawa pengaruh yang relatif sedikit ketika
Antropologi berada dalam periode formatif. Pandangan Mark adalah kesamaan
dengan fungsionalisme struktural Inggris yaitu agama berfungsi melegitimasi dan
mengabadikan golongan dan penguasa. Fungsiomalisme agama berfungsi melegitimasi
dan mengabdikan struktur sosial yang ada.
Saat ini para
Antropolog kebanyakan pasrah pada kenyataan bahwa subjek kajian mereka tidak
akan pernah mencapai kesatuan dan uniformitas teoritis. Beberapa Antropolog
mengorientasikan kajian agama pada psikolog kognitif, sebagian lain pada
feminisme. Sebagian lain pada sejarah sosiologis. Tidak ada lagi ortodoksi yang
harus dibicarakan, barangkali sepatutnya dikatakan bahwa bagaimanapun juga
terdapat beberapa kesepakatan tentang nilai abadi penelitian yang baik dan
beberapa tentang tanda etnografi yang baik.
b.)
Karakteristik
Dasar Pendekatan Antropologis
Salah satu konsep
kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa
praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat
sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti.
Para antropolog harus melihat agama dan praktik pertanian, kekeluargaan,
politik,magic, dan pengobatan secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak bisa
dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh-oleh praktik sosial
lainnya.
Beberapa tahun
terakhir, ketika dekonstruksi posmodernisme yang sedang digemari menjalar
melalui ilmu sosial, pendekatan holistik mendapat serangan. Jika ada masa-masa
keemasannya, kerangka kerja fungsionalisme struktural lebih membesarkan watak
sistematik yang ditelitinya, namun saat ini sudah dibuka peluang terhadap
fungsionalis struktural. Karya yang melakukan hal ini dapat dilihat dalam Lugbara
Religion hasil penelitian Middleton. Dalam karya tersebut dia lebih senang
memilih istilah inggris daripada bahasa Lugbara itu sendiri, meski demikian
karya Middleton tidak mengurangrangi kekayaan etnografis, buktinya siapa saja
yang membaca hasil karyanya masih merasakan proses aksi sosial dan agama
seperti yang benar-benar dipraktikan. Dengan cara ini, terlihat adanya pergeseran
karakteristik penelitian, dari karakteristik struktural ke “makna”.
Karakteristik
antropologi bergeser lagi dari antropologi “makna” ke antropologi interpretatif
yang lebih global, seperti yang dilakukan C.Geertz ide kuncinya bahwa apa yang
sesungguhnya penting adalah kemungkinan menafsirkan peristiwa menurut cara
pandang masyarakat itu sendiri. Penelitian seperti ini harus dilakukan dengan
cara tinggal ditempat penelitian dalam waktu yang lama, agar mendapatlan
tafsiran dari masyarakat tentang agama yang diamalkannya. Jadi, pada intinya
setiap penelitian yang dilakukan oleh antropolog, memiliki karakteristik
masing-masing dan bagi siapa saja yang ingin melakukan penelitian dengan
pendekatan antropologis, bisa memilih contoh yang telah ada atau menggunakan
pendekatan baru yang diinginkan.
1.
Pendekatan
Feminisme
Pendekatan agama melalui Feminisme adalah studi kritis bagaimana
agama dipandang dari sudut pandang gender, sebagai kategori utama. Anne carr
seorang peneliti agama dan feminis mengatakan bahwa keduanya sangat
bergantungan bagi kehidupan perempuan, bahwa feminisme juga seperti agama yang
memberi perhatian terhadap kehidupan kaum wanita di dunia kontenporer,
identitas manusia dan totalitas manusia yang didasari atas banyak disiplin
ilmu, sosiologi, antropologi, teologi dan filsafat. Tujuan dari pendekatan
feminisme adalah mengukur sejauhmana agama sesuai dengan kepribadian, dan
interaksi yang menguntungkan antara keduanya.
Kritisisme yang dibangun dalam pendekatan feminis ditunjukkan kepada agama dan dogma-dogamanya yang selalu memojokan kaum perempuan dalam bentuk symbol, ritual, dan teks. Meletakan perempuan pada posisinya dianggap adalah hal yang mesti dan harus. Terminologi feminisme bukanlah dipakai untuk hal yang tunggal, akan tetapi memilki cakupan yang luas. Salah satunya adalah David Boucher menggambarkan feminisme adalah sebuah bentuk pertemanan kaum perempuan dari ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial dimana perempuan tediskriminasi karena jenis kelaminnya. Istilah yang menjadi basis kritikan kaum feminis adalah Patriaki, dimana kaum lelaki menginsitusikan sistem dominasi mereka terhadap perempuan.
a.) Perkembangan Sejarah pendekatan Feminis
Priode pertama di abad 19 saat seorang wanita bernama Anglo menentang dua kebijakan otoritas agama di Amerika, perbedaan terhadap jabatan pendeta dan kritisisme injil. Keikutsertaan kaum perempuan dalam berbagai kegiatan gereja hanya bertepuk sebelah tangan. Kemajauan kaum wanita sekuler berdampak sangat kepada kaum wanita religius. Seperti menolak ikut bertanggung jawab atas keputusan gereja. Kaum feminis juga ikut dalam menafsirkan Tuhan sebagai sosok yang sangat berbeda dari penafsiran laki-laki, dan juga bagaimana hanya laki-laki yang diizinkan untuk berkhotbah, feminis berdalih bahwa pesan universal Yesus bukan hanya untuk laKi-laki dan perempuan. Pengorbanan Yesus sesungguhnya adalah pengorbanan untuk laki-laki dan perempuan.
Setelah itu ada sekelompok biarawati yang nekat menjalankan misi tanpa disetujui oleh umatnya, yaitu Jerena lei dan Amanda B Smith. Perjalanan mereka berkeliling adalah usaha atas ketidakpuasanya terhadap kepemimpinan laki-laki. Terpinggirnya akses perempuan di kependetaan ditanggapi serius oleh Catherien Booth yang terpengaruh dengan gerakan suci phoebe Palmer. Satu lagi gerakan perempuan yang menentang posisi perempun dalam pewahyuan juga ditanggapi oleh dua kelompok seperti shakers dan Sains Kristen Marry Bakery edy.
Maraknya isu feminisme memang
dilatarbelakangi oleh agama, seperti yang terjadi di Inggris dan Amerika. Baik
secara politik, perbudakan dan kesetaraaan gender, kesemuanya direspon dengan
cara yang konservatif dan liberal. Seperti Evanglis yang sangat memperhatikan
isu kewarganegaraan perempuan, kesanggupannya dan pengorbanannya untuk
kepentingan orang lain. Atau yang liberal dengan menentang ide-ide injil yang
belum mensetarakan politk dan social, padahal jenis kesamaan adalah hak yang
diberikan Tuhan. Salah satunya adalah Matilda J Gege yang berkata bahwa
perempuan diciptakan dalam image yang sama oleh Tuhan, sehinga representasi
simbolik dunia juga sama. Di injil, dasar –dasar injil dalam agama adalah sebab
inferioritas peremnpuan.
Proyek pertama kaum feminis ialah
pembahasan yang menyeluruh terhadap misoginotas agama barat. Sebagaimana yang
terjadi dalam sejarah Yahudi dan Kristen. Ketidakwajaran yang terjadi dalam
dogma agama ataupun tradisi memberikan pertanyaan, apakah yang harus menjadi
tujuan kaum feminis, apakah kesetaraan atau pembedaan.
Kaum
reformis mengatakan bahwa kesetaraan yang diperlukan antara laki-laki dan
perempaun sebagi bentuk dari kerangaka pembebasan perempuan yang lebih luas.
Radikal feminis menyerukan untuk membedakan dengan jelas antar jenis kelamin,
tujuannya adalah mencari jalan yang lebih bijak atas agama bible, yaitu menumbuhkan
kesadaran teologis dengan merombak simbolisme agama terhadap perempuan.
Pendektan feminis bukan hanya sebagai bentuk perlawan kaum perempauan terhadap domga agama, akan tetapi juga menjawab asumsi-asumsi akademis tentang bebas nilai dengan melakukan pengujian kembali atas materi dan konsep-konsep dari sudut pandang gender dan relasi kekuasaan. Kesumuanya yang terjadi dalam pengalaman perempuan harus teruji dan valid, maka kesadaran diri secara pasti tidak akan cukup tanpa adanya metodoligi pendekatan yang sistematik.
Pendektan feminis bukan hanya sebagai bentuk perlawan kaum perempauan terhadap domga agama, akan tetapi juga menjawab asumsi-asumsi akademis tentang bebas nilai dengan melakukan pengujian kembali atas materi dan konsep-konsep dari sudut pandang gender dan relasi kekuasaan. Kesumuanya yang terjadi dalam pengalaman perempuan harus teruji dan valid, maka kesadaran diri secara pasti tidak akan cukup tanpa adanya metodoligi pendekatan yang sistematik.
b.)
Karakteristik
Dasar Pendekatan Feminis
Kaum Feminis yang masih menganut paham religious ingin mengoreksi kembali simbol-simbol agama. Yang paling jelas bagi mereka adalah gambaran Tuhan dalam agama mereka yang sangat kelaki-lakian. Penelitian Daly tentang hubungan simbolisme agama yang bersifat maskulin, baik tingkat kemampuan atau metafora bahasa teologis. Seperti pemahaman bahasa Tuhan Bapak, Bagimanapun mereka mangatakan bahwa telah kehilangan arti metaforis yang benar dan tidak semestinya dipahami secar parsial.
Feminis religius berupaya untuk membentuk image Tuhan sebagai mana adanya, tidak esklusif dan lebih merefleksi dua jenis gender. Salah satu yang mereka lakukan adalah dengan menelaah sember-sember budaya kuno, atau disebut transhistoris, yaitu sember-sumber agama-agama kuno, yahudi dan kristiani dan agama-agama timur. Phillis Tribel dan Elizabeth Jonshon meneliti bahwa dalam tradisi agama Kristen terdapat pluralitas gender, dimana Tuhan diceritakan dalam bible memiliki kesan-kesan yang feminis, seperti keibuan, rahim, dan melahirkan (SI:42:14). Akan tetapi apa yang dilakukan feminis religious menafsirkan keTuhanan dengan sifat perempuan justru malah akan banyak merubah antromorfosis bahasa watak gender Tuhan.
Aspek yang paling kental ketika feminis dalam definiis keTuhanan kaum feminis adalah personifikasi perempuan dalam kearifan Tuhan. Banyak agama yang menggambarkan hal seperti itu, misalnya tradisi Shekina dan Kabbalisme dalam agama Yahudi, prajhaparamita dalam Budisme Mahayana dan Holy Spirit dalam agama Kristen. Namun menurut sarah Coekley tradisi holy spirit memang benar-benar menunjukan kelonggaran dalam menyimpulkan dari pada sebagai bentuk feminis, karena bagian itu tak sedikitpun menggoyahkan Trinitas keTuhanan. Dari kalangan Yahudi, Plaskow setuju dengan konsep Shekhinah karena menguntungkan bagi perlawanan sebenarnya kepada patriarkis.
Maka yang selamjutnya adalah penggunaan istilah baru dan definisi baru Tuhan kaum feminis, yaitu sebagai bentuk yang suci –sacred-, bukan lagi Tuhan yang transenden sebagaimana yang dipahami oleh patriarkis. Gambaran baru Tuhan ibu yang pengsih adalah pentasbitan akan relasi terdalam manusia, mengkominasikan keperempuanan dan non gender, dan menunjukan adanya model relasi baru.
Ursula King mengatakan”Barangkali bukan hal yang bijak dan pantas untuk meninggal kan image Tuhan Bapak, tetapi keyakinan tentang yang hidup juga tidak semestinya melihat simbol yang sudah tidak lagi berbicara dengan mudah kepada kita”. Artinya bahwa Konsep Tuhan Bapak tidak perlu hilang, namun idealnya jangan juga mementingkan simbol. Perkataan King juga menunjukan akan adanya pemahaman teradap simbol yang berlebih oleh kaum feminis, muatan-muatan yang diambil oleh kaum feminis terlihat naratif, padahal yang terpenting menurut pengarang adalah muatan normative. Begitupun Milieu yang memiliki kesimpualan bahwa teks-teks injil pada akhirnya adalah membebaskan kaum perempuan. Karena kaum feminis banyak mencurigakan teks-teks injil yang menurtnya dibuat oleh laki-laki. Namun seperti yang dikatakan oleh feminis reformis tidak ikut dalam pemahaman teks yang membenci perempuan sebagai suatu persoalan yang sangat menentukan.
Koreksi yang lain terhadap fenomen perempuan dalam injil, seperti bagaimana tokoh-tokoh Deborh dan Miriam dan perempuan-perempuan disekeliling Yesus memperoleh perhatian, semaentara sejarah khas yang diteliti oleh teolog Afrika dan Amerika menunjukan paradigma perbudakan kaum perempuan. Tidak salah kalau kemudian kaum feminis mengambil sebagai penafsiran atas kehilangannya infrioritas kaum perempuan, dan kesetaaran gender yang sesungguhnya. Atau cerita tentang penciptaan perempuan dan lai-laki oleh Tuhan secara bersama-sama. Atau juga Hawa da Lilith keakraban dan kerjasama perempuan.
Kedua, kasus kenabian Yesus dalam injil. Unsur kenabian Yesus yang dimuat dalam injil menurut Feminis adalah bagian yang sangat telak mengangkat patriarki dari sumber injil sendiri. Keadilan sosial dan kaitanya dengan kenabian adalah suatu sejata untuk menentukan perubahan bagi kaum feminis. Namun Elizabeth meragukan kalau pewahyuan injil, adalah hasil sejarah kaum gereja. Dari asalnya di mana perempuan ditempatkan dalam aktifisme Kristen awal dan kemudian pergeseran dimulai dari mulai penghianatan terhadap anjuran Yesus, sehingga Patrialkal menguat dan berkurangnya aktifisme wanita dalam gereja muncul. Sebagaimna juga yang terajadi dalam Islam, dalam Women and gender in islam Leila Ahmad melacak kematian aspirasi perempuan secara bertahap dari priode Muhammad sampai Abbasiah.
Diskursus feminisme dalam injil adalah bagian yang terisolasi, dan hal yang termarginal seperti ini akan mendapat pertanyaan apakah bisa pengalam kaum perempuan yang marginal dalam injil menjadi satu basis hermenetik bagi mereka. Mary ann Tolbert, menurutnya bagaimanapun feminism akan menjadi paradok dengan peafsiran mereka karena dimana injil telah dijauhkan dari otoritas asalnya yaitu kaum patrialkal. Theology and Feminisme Daphen Hampson menjelaskan, apa yang dikejar selam ini oleh kaum feminis adalah hal yang sangat jauh dan terbatas, bahkan bukan bagian yang mengancam. Maksudnya selama ini kaum feminis telah salah sasaran dalam mengkritisi kenabian dan injil.
Tapi, usaha kaum feminis adalah merupakan bagian yang diakui oleh injil, bahwa kitab suci berhak dikonstuksi oleh masyarakat. Maka apa yang dilakukan kaum feminis adalah bagian dari penafsiran, yang memiliki ciri khas dalam melakukan transpormasi agama.
Ketiga, yaitu penemuan kembali
sejarah keagamaan perempuan. Ini adalah hal yang berbeda dari dua hal
sebelumnya, karena masalah ini tidak menyinggung injil dan kitab suci.
Sejarah-sejarah dahulu sering mengangkat sosok perempuan-perempuan besar,
perempuan kecil religius tidak pernah diangkat dalam sejarah. Feminis sekarang
beusaha untuk mengingatkan kembali bahwa pengalaman keagamaan
perempuan-perempuan awam adalah penting, bukan hanya ratu dan perempuan suci.
Peranan para sufi wanita yang ribath di tempat yang asing, inisiatif dan
partisipasi perempuan Israel kuno dalam persoalan ekonomi, dan
biarawati-biarawati kulit hitam katolik yang berkhotbah di inggris.
Sebagaimana yang dikatakan oleh King bahwa penemuan kembali sejarah perempuan adalah bukan persoalan masa lalu, akan tetapi adalah masalah tentang identitas personal dan kelembagaan. Permasalahan bagaimana wanita kulit hitam memperjuangkan hak-hak mereka atas rasisme orang amerika. Sojourner Truth dab Maria S swart merupakan sumber otoritatif bagi konstruksi etika, kristologi, dan teologi feminis kulit hitam beberapa waktu terakhir.
Sebagaimana yang dikatakan oleh King bahwa penemuan kembali sejarah perempuan adalah bukan persoalan masa lalu, akan tetapi adalah masalah tentang identitas personal dan kelembagaan. Permasalahan bagaimana wanita kulit hitam memperjuangkan hak-hak mereka atas rasisme orang amerika. Sojourner Truth dab Maria S swart merupakan sumber otoritatif bagi konstruksi etika, kristologi, dan teologi feminis kulit hitam beberapa waktu terakhir.
Telaah
kaum feminis terhadap bahasa yang digunakan oleh agama seperti secred,
litalatur dan sejarah membawa dampak positif dialog yang saling menguntungkan
antara agama dan feminis, Kedudukan agama dan feminis dihargai dan disejarakan
dengan tradisi yang mereka respon melalui pertanyaan-pertanyaan kontenporer.
Teori yang ditawarkan oleh kaum
feminis tidak hanya sekedar omongan tetapi juga praktis mereka jalani, walaupun
teori dan praktis kaum feminis selau mengalami perubahan. Dampak besar datang
dari luar, di mana kaum feminis menjadi modal bagi kelompok yang sama mengalami
situasi yang sulit dalam cacat religius dan social yang dialami oleh kaum
perempuan.
Seruan yang mendasar bagi misi feminis dalam tradisi agama ialah menempatkan perempuan dalam posisinya yang sama dengan laki-laki, yaitu menjadi pemimpin. Tradisi yahudi yang menghadang kaum perempuan dalam halakhik peribadatan public. Komunitas perempuan dalam agama bukan hanya sebagai penggerak hak-hak perempuan, tetapi juga sebagai kajian ulang atas tafsir kependetaan laki-laki. Ritual-ritual baru yang berorientasi pada perempuan adalah hasil dari perkembangan kembali pemahaman secred yang dilakukan kaum feminis. Atau juga menghilangkan bahasa androsentris dalam peribadatan dan pengalaman perempuan.
Penekanan lain yang dilakukan oleh feminimisme adalah keterikatan hubungan perempuan dan laki-laki, saling ketergantungan satu sama lain. Ciri tersebut adalah bentuk moral etis kaum feminis. Moral feminis sering dicirikan dengan metaphor kepedulian, ketergantungan, dan kesaling berhubungan. Ontologi Women’s conscience :Women’s consciousness, menggambarkan realisasi dinamika tersebut dalam beberapa wilayah, seperti gerakan perempuan, anti semitik, kekerasan seksual, keadilan rasial, dan pertemanan perempuan.
Rasionalisasi tersebut (etika) sangat terkait dengan ekofeminisme, yaitu etika lingkungan feminis. Menurutnya persoalan pencemaran lingkungan adalah persoalan krisis spiritualitas. Pemahaman kita telah gagal menjadikan bumi sebagai relasi yang sangat kuat dalam jaringan kehidupan. Persamaan ideologis antar agama, seksualitas perempuan dan pencemaran alam dilihat oleh ekofeminisme adalah bentuk patriatikal yang teralienisasi kepada kebudayaan manusia sebagai bentuk fisik alam. Seperti yang dijelaskan oleh Plaskow: pencemaran lingkungan dan perusakan alam adalah bagian dari penolakan manusia atas terciptanya pengejawantahan yang sama dengan alam. Irene Diamond dan Gloria Feman mengatakan dalam pengantar reweaving the world:The emergence of ecofemism, bahwa pengakuan atas kesucian intristik alam, dan ketergantungan manusia terhadap planet merupakan prinsip pluralisitik kaum ekofeminis, menuntut distribusi kehidupan yang wajar tanpa kekerasan terhadap bumi. Sarjana barat lain yang memilki ketertarikan atas konsep lingkungan kaum ecofeminis mencari dalil dalam kitab injil bible. Ruthe dan anne misalnya mengatakan bahwa bumi adalah sesuatu yang hidup dan organisme yang satu, yang mengesankan pesan monotistik agama Kristen. Atau Carol Christ dan Charlene yang juga tergabung dalam fenemisme radikal mengatakan bahwa kesesuai alam dan perempuan dalam bentuk penyembahan kembali dewi. Definisi maskulin yang ditafsirkan kembali adalah bentuk yang sering dianggap bahwa dewi adalah simbol dari kekuatan perempuan “kekuatan dan kematian, kehidupan dan kematian, adalah kekuatan-kekuatan yang dipantulkan oleh alam.”
Seruan yang mendasar bagi misi feminis dalam tradisi agama ialah menempatkan perempuan dalam posisinya yang sama dengan laki-laki, yaitu menjadi pemimpin. Tradisi yahudi yang menghadang kaum perempuan dalam halakhik peribadatan public. Komunitas perempuan dalam agama bukan hanya sebagai penggerak hak-hak perempuan, tetapi juga sebagai kajian ulang atas tafsir kependetaan laki-laki. Ritual-ritual baru yang berorientasi pada perempuan adalah hasil dari perkembangan kembali pemahaman secred yang dilakukan kaum feminis. Atau juga menghilangkan bahasa androsentris dalam peribadatan dan pengalaman perempuan.
Penekanan lain yang dilakukan oleh feminimisme adalah keterikatan hubungan perempuan dan laki-laki, saling ketergantungan satu sama lain. Ciri tersebut adalah bentuk moral etis kaum feminis. Moral feminis sering dicirikan dengan metaphor kepedulian, ketergantungan, dan kesaling berhubungan. Ontologi Women’s conscience :Women’s consciousness, menggambarkan realisasi dinamika tersebut dalam beberapa wilayah, seperti gerakan perempuan, anti semitik, kekerasan seksual, keadilan rasial, dan pertemanan perempuan.
Rasionalisasi tersebut (etika) sangat terkait dengan ekofeminisme, yaitu etika lingkungan feminis. Menurutnya persoalan pencemaran lingkungan adalah persoalan krisis spiritualitas. Pemahaman kita telah gagal menjadikan bumi sebagai relasi yang sangat kuat dalam jaringan kehidupan. Persamaan ideologis antar agama, seksualitas perempuan dan pencemaran alam dilihat oleh ekofeminisme adalah bentuk patriatikal yang teralienisasi kepada kebudayaan manusia sebagai bentuk fisik alam. Seperti yang dijelaskan oleh Plaskow: pencemaran lingkungan dan perusakan alam adalah bagian dari penolakan manusia atas terciptanya pengejawantahan yang sama dengan alam. Irene Diamond dan Gloria Feman mengatakan dalam pengantar reweaving the world:The emergence of ecofemism, bahwa pengakuan atas kesucian intristik alam, dan ketergantungan manusia terhadap planet merupakan prinsip pluralisitik kaum ekofeminis, menuntut distribusi kehidupan yang wajar tanpa kekerasan terhadap bumi. Sarjana barat lain yang memilki ketertarikan atas konsep lingkungan kaum ecofeminis mencari dalil dalam kitab injil bible. Ruthe dan anne misalnya mengatakan bahwa bumi adalah sesuatu yang hidup dan organisme yang satu, yang mengesankan pesan monotistik agama Kristen. Atau Carol Christ dan Charlene yang juga tergabung dalam fenemisme radikal mengatakan bahwa kesesuai alam dan perempuan dalam bentuk penyembahan kembali dewi. Definisi maskulin yang ditafsirkan kembali adalah bentuk yang sering dianggap bahwa dewi adalah simbol dari kekuatan perempuan “kekuatan dan kematian, kehidupan dan kematian, adalah kekuatan-kekuatan yang dipantulkan oleh alam.”
c.) Persoalan dan perdebatan
Berkembangnya Isu feminism di dunia sekarang ini adalah buntut dari gencarnya kontekstualitas yang dibawa oleh kaum feminis. Melalui sumber-sumber empiris yang dilakukan secara sintetis dan relektif, dan analisis dalam agama, sosial dan politik. Seperti bagaimana Jean Zaru menyuarakan anti kekerasan terhadap perempuan intifadah. Juga yang dilakukan Swarnalata Devi yang menggambarkan perjuanangan wanita Kristen yang pemberani, dll.
Tapi sebenarnya kemajuan yang terjadi di kalangan feminis masih belum menunjukkan sesuatu yang benar-benar baik. Ini bisa dilihat dari bagaimana pengalaman beberapa perempuan di tempat yang berbeda, yang meruntut juga pada perbedaan wanra kulit, ras, dan status ekonomi. Antara feminis Afrika dan Amerika bisa dilihat dari penggunaan kata yang berbeda untuk kedua istilah metode feminis yang dipakai, mijerista dan womenist. Absolutisasi pemahaman dari metode masing-masing banyak membawa dampak yang buruk “pengalaman perempuan” yang berbeda-beda, di Barat para feminnis mengkritik wanita muslimah berjilbab, yang akhirnya feminism barat dipertanyakan oleh feminism muslim. Maka yang terpenting bagaimana mempersatukan pengalaman perempuan tadi, ditambah lagi pemahaman pengalaman perempuan yang hanya menunjukkan kepada definisi kelamin atau diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan adalah bagian yang tidak wajar atas pemahaman yang kompleks pengalaman perempuan, sebagaimana dellores katakana.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan kedua adalah separatisme feminis. Perbedaan yang fundamental antara laki-laki dan perempuan, dan menghalangi keikutsertaan laki-laki dalam perempuan adalah merupakan rasisme yang tersembunyi dari kalangan feminis. Maka apa yang terjadi merupakan pemahaman subjektif mereka yang tidak sejalan, dan bisa dipastika tujuan awal yang dinginkan tidak akan tersentuh, yaitu patriarkal. Pendekatan feminis telah dan terus sebagai suatu percobaan terhadap agama mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks pluralis, kontenporer, dan juga post modern.
2.
Pendekatan
Fenomenologi
Terkait dengan
perkembangan historis pendekatan fenomenologi agama, penelitian Jacques
Waardenberg “Classical Approaches to the Study of Religion” (1973) dalam
tulisannya itu ada kata kunci yang digunakan Jacques yaitu “empiris” dan
“rasional”. Empiris disini mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui
ilmiah sebagai suatu metode diderivikasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan
ditetapkan kedalam ilmu-ilm sosial sebagai suatu pengajian terhadap struktur
sosial dan perilaku manusia sedangkan rasional mengacu pada penelitian perikau
manusia sesuai dengan premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah. Oleh karena
itu, irasional mengindikasikan agama sebagai suatu fenomena yang tidak berjalan
sesuai dengan parameter-parameter tersebut.
Fenomenologi agama berangkat dari evaluasi ataseden (pendekatan
yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja
metodologisnya sendiri dalam study agama dalm kaitannya sebagai pendekatan
alternatif terhadap subjek agama. Meski demikian, kita harus berhati-hati
terhadap kecendrungan menganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari
disiplin-disiplin lain. Keadannya lebih kompleks dan tidak stabil.
Fokus utama
fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan
atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan
atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai
komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi
keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul
dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan
normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan
akurat.
Menurut Noeng Muhadjir,
secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat
kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Hanya saja kebenaran
transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah.
Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan
tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya. Selain itu
menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti metode-metode
ilmu alam (natural sciences) dan bebas nilai (value free), maka
fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value-bound)
seperti kemanusiaan dan keadilan.
Dalam pandangan
Kristenen, fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode khusus
dalam kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi oleh
sejarah, Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling
berhubungan dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye, Kristenen berpendapat bahwa
tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari “makna” fenomena keagamaan.
Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian makna fenomena keagamaan tersebut
adalah dalam konteks keimanan masing-masing orang. Kristenen juga berpendapat
bahwa tidak cukup hanya dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan fenomena
sebagaimana dipahami oleh masing-masing tradisi keagamaan, akan tetapi juga
dituangkan dalam sebuah pemahaman.
3.
Pendekatan
Psikologis
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari
aspek-aspek batin pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu
benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat
diketahui. Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya,
harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis memang berkembang dan
dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu
ini adalah manusia, gejala-gejala empiris dari keagamaanya. Karena ilmu ini
tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenya pun tidak berhak
untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan Tuhan atau tidak,
dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris lainnya.
Oleh karena itu pendekatan psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya
suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk
mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan
datang.
Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical science, yakni
mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan
metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola
indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang biasa, sedangkan
Dzat Tuhan,wahyu,setan,dan fakta gaib lainnya tidak dapat diamati dengan pola
indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya. (Aziz
Ahyadi,1981:9;Zakiah daradjat,1979:17-19).
Sumber-sumber ilmiah untuk mengumpulkan data ilmiah melalui pendekatan
psikologi ini dapat diambil dari:
1. Pengalaman dari orang-orang yang masih
hidup
2. Apa yang kita capai dengan meneliti
diri kita sendiri
3. Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh
yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama (Zakiah Daradjad,1979:20)
4.
Pendekatan
Sosiologis
Pendekatan
sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antar agama dan masyarakat. Praanggapan dasar
perspektif sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial,
konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan agama. Objek-objek, pengetahuan,
praktik-praktik, dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog
dipandang sebagai produk interaksimanusia dan konstruksi sosial. Agama
merupakan salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki
keyakinan-keyakinan, da perilaku religius, menurut sosiolog adalah untuk
memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih
hebatdalam dunia sosial.
Kritik terhadap
studi agama yang berspektif sosiologis menyatakan bahwa fokus sosiologi
terhadap imanensi dengan mengesampingkan transendensi, atau digunakannya
ateisme metodologis, turut ambil bagian dalam satu upaya untuk “mengontrol yang
Mahaluhur”, membatasi signifikansinya dalam teori sosial dan dunia sosial. Akan
tetapi, studi sosiologi terhadap agama tidak hanya memberi perhatian terhadap
kekuatan dan proses sosial, melainkan juga kekuatan penggerak organisasi dan
doktrin keagamaan dalam dunia sosial.
Teori sosiologi
tentang watak agama serta kedudukannya dan signifikansinya dalam dunia sosial,
secara tidak langsung mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori
sosiologis, meliputi : Stratifikasi sosial, Kategori biososial, Pola organisasi
dan Proses sosial. Yang mana peran kategori-kategori ini dalam studi sosiologis
terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma-paradigma utama tradisi
sosiologis dan oleh refleksi atas realitas empiris dari organisasi dan perilaku
keagamaan.
Keyakinan dan
aktivitas religius dapat memberikan kompensasi bagi kelompok-kelompok sosial
atau minoritas yang tak beruntung atau pada orang-orang yang meskipun relatif
sukses dalam pengertian sosial atau materiil namun masih mengalami beberapa
kendala emosional atau materiil baik dalam kaitan dengan harapan-harapan yang
ingin dipenuhi atau orang-orang yang setara dengannya.
5.
Pendekatan
Teologis
Sistematika yang dilakukan
Frank Whaling dalam membahas pendekatan teologis, yaitu pertama,
menganalisa maksud dari teologi dan studi keagamaan. Kedua,meneliti
keterkaitan antara teologi dan studi keagamaan dengan melihat watak, makna dan
tujuan. Ketiga, meneliti berbagai pendekatan teologis dalam studi agama,
antara lain; melalui teologi agama-agama (theologies of religion) yaitu
teologi tertentu yang muncul dalam tradisi keagamaan tertentu, teologi-teologi
agama (theologies of religion) yaitu berbagai sikap teologi dalam
tradisi keagamaan particular yang diadopsi dari luar agama, dan teologi agama (theologiy
of religion) yaitu upaya membangun suatu teologi yang lebih universal lebih
mengonsentrasikan pada kategori-kategori transenden dan teologi agama-agama
global, kemudian mengonseptualisasikan kembali kategori-kategori yang muncul
dari tradisi keagamaan tertentu yang dapat mengarahkan perkembangan situasi
global, yang mempengaruhi setiap orang. Lalu melakukan eksplorasi beberapa
titik temu dan perbandingan teologis dalam bagian yang dapat kita sebut dengan
“teologi agama perbandingan”.
a.)
Makna
Teologi
Kata teologi pada
dasarnya sudah ada sejak bangsa Sumeria, dan menjadi sebuah istilah Yunani
Theologia. istilah ini mengacu pada tuhan-tuhan atau Tuhan. Greek-English
Lexicon karya Liddell dan Scott, kata teologi mengandung 233 derivasi dan 222
terkait dengan tuhan (dengan t besar) dan tuhan-tuhan (dengan t kecil).
Kemudian Aristoteles membangun istilah baru yang disebut Teologi filosofis.
Orang-orang Kristen mewarisi teologi dari Yunani dan menjadi terkemuka di
kalangan apologis Kristen dan pendiri awal gereja Kristen sebagai suatu cata
membumikan tradisi Kristen dalam kebudayaan Yunani-Romawi. Pada masa Aquinas,
teologi memperluas cakupannya hingga meliputi dokrin, etika spiritual,
filsafat, peraturan-peraturan gereja dan mistisisme. Dan pada akhirnya teologi
mengonsetualisasi menjadi teologi universal guna memenuhi kebutuhan dunia serta
suatu teologi global agama-agama.
Kesimpulan dari maksud
dan arti teologi dari Frank Whaling dapat dihasilkan 3 kesimpilan. Pertama,
teologi pasti berkaitan dengan Tuhan atau transendensi, baik dilihat secara
mitologis, filosofis atau dogmatis. Kedua, dokrin tetap
menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi. Ketiga,
teologi sesungguhnya adalah suatu aktivitas yang muncul dari keimanan dan
penafsiran atas keimanan.
b.)
Maksud
dari Studi-studi Keagamaan
Dalam membahas maksud dari
studi-studi keagamaan, Frank Whaling membagi studi keagamaan mencakup lima
kategori yang saling melengkapi. Pertama, tradisi-tradisi besar
(agama Budha, hindhu, Kristen, Yahudi dan Muslim. Kedua, mencakup
juga tradisi-tradisi kecil yang masih hidup ( Zoroaster, Jain, Sikh, Taoist). Ketiga,
tradisi-tradisi yang telah mati yang pernah menjadi media transenden. Keempat,
agama-agama primal yang lebih mendasarkan pada tradisi lisan, seperti mite,
ritual, simbul dari kesukuan. Kelima,
gerakan-gerakan keagamaan baru yang muncuk di era modern (Bahai, gereja
persatuan, Kristen Afrika asli dasb).. keenam, Ninian Smart
menyebutnya sebagai agama-agama sekuler (nasionalisme, humanism sekuler,
Marxisme). Kemudian perbedaan antara teologi dengan studi keagamaan adalah ;
1. Studi-studi keagamaan menggunakan beragam pendekatan dan metode, seperti
filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, fenomenologi, psikologi dan
linguistic.
2. Teologi lebih berpusat pada persoalan dokrin, transendensi dan pada elemen
konseptual dalam agama dibanding dengan praktik, spiritual dan perilaku.
3. Sedangkan studi keagamaan memberi titik tekan yang sama terhadap
elemen-elemen yang ada dalam agama, seperti praktik social, ritual, estetika,
spiritualitas, mite dan simbul, serta menfokuskan pada orang-orang beriman dan
pengalaman atau keyakinannya ketimbang objek keyakinan.
c.)
Hubungan
Antara Teologi dan Studi-studi Keagamaan
Setelah membahas tentang
perbedaan teologi dengan studi-studi keagamaan, Frank Whaling mencoba meneliti
tentang keterkaitan antara teologi dan studi keagamaan serta watak keduanya
dengan melihat makna dan tujuannya. Analisa yang digunakan oleh Frank Whaling
terhadap keterkaitan teologi dan studi keagamaan menggunakan dua model, yaitu pertama,
dengan melihat peran teologi dan implikasinya juga bagi studi keagamaan, dalam
tiga kerangka pengetahuan seperti berkembang di dunia Barat.
Dalam sejarah intelektual Barat, terdapat tiga model dominan. Pertama,
model humanitas (humanity). Titik tekannya pada literature dan manusia,
filsafat, etika, geografi, bahasa, dan kebudayaan. Porosnya adalah humanitas.
Sedang studi agama dan ilmu kurang mendapat perhatian. Sampai pada abad tengah,
St. Augustines dan Thomas Aquinas melakukan model baru pembelajaran Eropa yang
lebih menekankan teologi dari pada humanitas. Pada Abad tengah ini, ilmu
menempati posisi kedua setalah teologi. Sedangkan di era modern, telah
mengalami pergeseran, yaitu alam dan ilmu-ilmu kealaman serta eksperimen
terhadap alam menjadi landasan pengetahuan dan menjadi titik porosnya dibanding
teologi. Di era sekarang dengan perspektif global, muncul kesadaran semangat
menyatukan kembali pengetahuan guna memenuhi tuntutan dunia global. Maka perlu
interkoneksi antara teologi dan studi-studi keagamaan, humanitas dan ilmu-ilmu
kealaman saling membutuhkan satu dengan yang lain. Akibat globalisasi tersebut,
membawa tiga konskuensi terhadap teologi dan studi-studi keagamaan.
1. Teologi Kristen bukan satu-satunya kunci bagi “rethingking” ini. Artinya
semua teologi agama-agama di dunia mempunyai peran yang sama. Dengan demikian,
studi-studi keagamaan memainkan peran signifikan karena perannya secara inheren
lebih luas dibanding peran teologi Kristen.
2. Studi-studi keagamaan telah memiliki tempat dalam dua model diantara dua
model yang telah dipaparkan.
3. Studi keagamaan dan teologi memiliki tugas penting dalam ketiga proses pengetahuan
dan ketiga model pengetahuan. Teologi tidak lagi focus pada Tuhan, dan studi
keagamaan tidak lagi focus pada alam dan krisi ekologi yang sekarang mengancam
dunia kelaman. Tetapi secara berlahan mulai tumbuh kesadaran mengenai
komplementaritas antara teologi dan studi-studi keagamaan dalam agama dunia
global.
Menurut Fran Whaling,
dalam menganalisa hubungan antara teologi dan studi-studi keagamaan, beliau menggunakan model dimana bahwa konsep
transendensi dalam agama memiliki bentuk
yang berbeda-beda dalam setiap tradisi. Masing-masing tradisi memiliki delapan
elemen tetapi memberi penekanan yang berbeda terhadap masing-masing elemen.
1. Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja, ummah,
sangha, dan lain-lain) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat
beriman ke dalam konteks global.
2. Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek: penyembahan yang
terus-menerus, sakramen, dan upacara-upacara.
3. Etika: seluruh tradisi memiliki keinginan mengkonseptualisasikan dan
membimbing ke arah kehidupan yang baik, dan semua menyepakati
persoalan-persoalan dasar seperti keharusan menghindari kebohongan, mencuri,
pem-bunuhan, membawa aib keluarga, dan mengingkari cinta.
4. Keterlibatan sosial dan politis: komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu
terlibat dalam masyarakat yan lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau
beradaptasi dengan kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti
dalam agama-agama primal.
5. Kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci dalam kitab suci atau tradisi
oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengenyampingkan agama-agama
primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebagai suatu canon
(peraturan-peraturan).
6. Konsep atau doktrin: tradisi Kristen dengan gagasannya tentang ortodoksi
doktrinal lebih menekankan pada konsep dan teologi dibanding lainnya, namun
seluruh tradisi memiliki sejumlah konsep yang sangat penting bagi mereka.
7. Estetika: dalam tingkat akar rumput di sepanjang sejarah, estetika
merupakan hal signifikan, meski dalam masyarakat yang tidak dapat membaca.
8. Spiritualitas yang menekankan sisi dalam (batin) dari agama: beberapa orang
menyatakan bahwa seluruh spiritualitas pada dasarnya sama, sebagian lainnya menyatakan
bahwa ia berbeda menurut tradisi atau menurut struktur dasar.
Seluruh tradisi
keagamaan menurut Frank Whaling memiliki kedelapan dimensi tersebut dengan
bobot penekanan yang berbeda-beda menurut perbedaan pemahaman tentang elemen
yang paling penting. Studi-studi keagamaan bersifat lintas budaya dan tidak ada
kepentingan tertentu untuk memperkembangkan salah satu tradisi.
Kesimpulannya, meskipun
batas-batas dan perhatian teologi dan studi-studi keagamaan itu terpisah, namun
bukan pemisahan yang mendasar. Keduanya, saling berjalan dengan cara seperti
kaitanya dengan model-model pengetahuan Barat dan dengan suatu model agama
general.
d.) Pendektan Teologi
Pendekatan teologi
beranggapan bahwa agama sendiri adalah agama yang paling benar, sedang agama
orang lain dianggap salah. Pendekatan teologi mempunyai 4 tipe yaitu tipe
teologi deskriptif-historis, tipe teologi fisterensik, tipe
teologi dialogis dan tipe teologi filosofis. Dari empat tipe
teologis ini, kemudian melahirkan 4 pandangan teologis yang berlawanan.
Pertama, tradisonalisme pasif, yaitu pandangan teologis seseorang yang menutup
diri dari perubahan yang terjadi dalam dunianya. Kedua, teologi kreatif
terhadap tradisi, yaitu pandangan teologi yang berusaha memelihara dan
memulihkan tradisi dengan cara dinamis dan kreatif. Ketiga, teologi liberal,
yaitu pandangan teologi yang lebih menekankan pada reformasi, adaptasi dengan
perkembangan modern. Keempat, pandangan teologis yang ingin menginterpretasi
ulang tradisi keagamaan secara radika (Ninian Smart, 1984 : 257)
Suatu pendekatan lain
adalah karya Wifred Cantwell Smith, dia mengemukakan apa yang selanjutnya
disebut oleh Frank Whaling dengan teologi agama. Namun sebelumnya, terdapat
sikap-sikap teologis yang diterapkan tradisi-tradisi keagamaan terhadap dunia
yang lebih luas.
Ada tujuh sikap
teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan, yaitu Eksklusifisme (menganggap
tradisinya paling benar dan tidak ada kemungkinan kompromi dengan kebenaran
tradisi lain), diskontinuitas (tradisi-tradisi sebelum Islam yang tidak
dianggap karena sudah dihapus), sekularisasi dan spiritualisasi, penyempurnaan
( seluruh tradisi keagamaan memiliki akses pada transendensi, kebenaran dan
pandangan spiritual), universalisasi, dialog (meskipun ada yang memasukkan
sebagai metode, bukan pendekatan), dan relativisme.
Pendapat dan masukan.
- Setelah melakukan review terhadap buku aneka pendekatan studi agama khususnya pada bab pendekatan teologis oleh Frank Whaling, penulis merasa bahwa pemikiran Whaling ingin mengajak untuk menjadikan pendektan teologis dalam studi-studi keagamaan dapat menyumbangkan pesan-pesan transendensi untuk memberikan solusi persoalan global.
- Pendekatan yang ditawarkan dengan interkoneksi dengan berbagai macam teologi agama-agama dan keilmuan akan membawa kompromi-kompromi demi menjaga dan menyelamatkan kerusakan ekologi, humanity dan spiritual secara global.
- Memakai istilah teologi untuk menyebut ajaran-ajaran transendensi agama-agama, teologi pada awalnya sebagai istilah milik Kristen untuk membumikan tradisi-tradisi, kini menjadi lebih luas maknanya. Hemat penulis, untuk kontek dunia keilmuan studi islam dalam hasanah dialog antar agama dan penelitian keagamaan bisa diterima. Tatapi Frank Whaling tidak adil bila pembahasan teologi lebih memihak pada tradisi-tradisi agama tertentu seperti Kristen.
- Mengajak untuk menuju titik temu dari semua ajaran-ajaran agama adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi, karena masing-masing teologi agama-agama mempunyai dokrin akidah, kitab, nabi dan ibadah yang berbeda-beda. Kecuali kalau mereka mau menggunakan akal sehatnya untuk mengakui konsep yang paling bisa diterima tentang ajaran transendensi tuhan adalah konsep tauhid.
- Sebaiknya buku ini memang sebagai salah satu refrensi untuk studi penelitian keagamaan, tentu dengan tetap bersikap kritis terhadap isi buku yang ditawarkan. Dan pembaca lebih baik sudah betul-betuk menguasai keilmuan Islam terlebih dahulu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Maksud dari pendekatan di
sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu
yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Berbagai pendekatan manusia
dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan
ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama
bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat
dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya.
Daftar Pustaka
Connolly, Petter (ed.). Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta.LKIS.2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar