Senin, 12 Desember 2016

NEW RELEGION MOVMENT DAN PENDEKATAN ILMU SOSIAL



Makalah
New religion movement dan pendekatan ilmu sosial
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah New Religion Movement
Dosen : Sri Mulyati, Dr, MA






Di susun oleh:

M. Rahmat Ramadhan (1113032100036)



Jurusan perbandingan agama
Fakultas ushuluddin
Universitas islam negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2016 






BAB I
Pendahuluan
            Agama yang dalam kerangka positivisme sering disetarakan dengan “mitos” dan karena itu diramalkan akan tenggelam dilibas kekuatan “ideologis” dan “ilmu pengetahuan”, kini semakin menunjukkann eksistensinya. Bahkan, perhatian terhadap agama sekarang ini tidak saja bersifat teologis, yakni dengan meningginya minat menjalani kehidupan yang diyakini berlandaskan ajaran suatu agama, atau yang terkenal dengan istilah kebangkitan agama-agama. Dan, kebangkitan agama disini tidak hanya merujuk pada agama-agama besar saja, tetapi juga pada sekte-sekte spiritual kecil, agama-agama kuno, dan berbagai macam sinkretisme dan ekletisme agama baru. Kenyataan inilah yang pada gilirannya mendorong minat ilmiah terhadap agama.
            Makalah ini mencoba membahas tentang pengenalan awal mengenai berbagai pendekatan terhadap agama, yang mana mencoba menggambarkan potret nyata studi keagamaan dengan metode tradisi penelitian akademik yang terpadu, yang bertujuan memberikan gambaran mengenai agama.
            Adapun berbagai pendekatan yang akan dibahas yaitu pendekatan antropologis, fenomenologis, feminis, filosofis, sosiologis, psikologis, dan teologis. Meskipun tampak berdasar pada pembelahan disiplin ilmu secara tradisional, ia tak lebih merupakan penyederhanaan dan ujungnya sifat interdisiplin terhadap agama. Dalam studi Barat sendiri studi agama tidak untuk mendidik para pendeta dan pastur, serta dimaksudnkan untuk mengekspresikan keyakinan masih di anggap baru. Oleh karena itu, tuntutat agar berbagai pendekatan terhadap agama bersifat agnostik mungkin agak mencengangkan, dan usulan membentuk teologi global berkaitan dengan gejala globalisasi yang agama sendiri menjadi contoh nyatanya hal ini layak direnungkan.


BAB II
Pembahasan
Pendekatan Antropologis
a.)    Perkembangan Historis Pendekatan Antropologis    
            Antropologi bermula pada abad ke 19 sebagai penelitian terhadap asal usul manusia, yang mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Para Antropolog abad ke-19 adalah evolusionis yang berpendapat bahwa seluruh masyarakat dianggap berada dalam proses evolusi, namun evolusi tersebut tidak merata. Ada masyarakat yang maju, ada yang kurang berkembang dan ada juga masyarakat yang masih primitif. Dalam masyarakat yang maju, strata sosial tentu dianggap masih memelihara kebiasaan dan modrl serta pemikiran zaman sebelumnya. Mereka itulah para petani yang tinggal di bagian negara yang terpencil secara geografis. Masyarakat yang maju memandang bahwa masyarakat primitif sama seperti anak-anak yang membutuhkan pendidikan suatu corak peradaban
            Pandangan tentang sejarah dan masyarakat semacam ini memperoleh dukungan dari krya Darwin tentang evolusi biologis. Meski demikian pandangan tersebut tidak tergantung pada teori Darwin. Karena pandangan mereka lebih dahulu muncul dari teori Darwin. Namun pada era kolonial teori evolusi sosial ham[ir tidak dapaty diterima. Walaupun dalam budaya dan perbincangan sehari-hari teori itu tetap hidup.
            Menurut para Antropolog, pada abad ke-19 masyarakat dan agama primitif memiliki daya tarik yang luar biasa karena perilaku mereka yang aneh dan tidak dikenal serta cara mereka menolak kepalsuan dan meruntuhkan agama. Tetapi para Arkeolog masih memperdebatkan apa bentuk agama yang kuno. Apakah bentuk agama itu animisme atautakah totemisme (penyembahan terhadap totem sebagai objek yang agung).
            Pembahasan tentang perkembangan historis tentang pendekatan  Antropologis telah lama dibahas, pembahasan itu dimulai dari adanya dua karya yang sangat berbeda yaitu The Golden Bough karya Sir James Farzer dan The Element Forms of Religious Life karya Emil Durkheim. Dalam bukunya, Frazer mengemukakan suatu skema evolusi sederhana, suatu ekspresi dari keyakinan rasionalisme sejarah manusia melalui tiga fase yang secara berurutan didomonasi oleh : magic, agama dan ilmu. Sedangkan Durkheim, dengan bukunya memberikan sebuah teori yang memberikan inspirasi bagi Antropolog-antropolog setelahnya, baik fungsional struktural maupun strukturalis yang sama sekali menolak evolusionisme. Menurut Durkheim dalam teori agamanya pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama adalah benar menurut mode masing-masing semua memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Contohya adalah Aborigin yang dia yakini sebagai agama yang sederhana dan paling primitif dimana penelitian dapat memberikan pengetahuan kepada kita. Agama-agama primitif dapat menjelaskan watak kehidupan dengan baik.
            Durkheim mengkritik definisi agama sebagai keyakinan pada supranatural atau keyakinan pada Tuhan atau zat yang spiritual. Menurutnya agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang sacred, yakni segala sesuatu yang terasingkan dan terlarang keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyati dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja, dimana semua orang tunduk kepadanya.
            Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, para Antropolog masih berbeda pendapat tentang totemisme yang menjadi bentuk agama yang paling awal. Di Aronta setiap klan memiliki totam yang bagi mereka merupakan hak yang sacred namun tidak bagi yang lain. Disana terjadi perlakuan yang bersifat pengorbanan yang bersifat totem. Misalnya anggota Klan dilarang membunuhnya.
            Dalam perjelanan evolusionisme pada abad ke-19 menjadi inti pandangan Karl Mark (1818-1883) dan Mark Weber (1864-1920). Mereka membawa pengaruh yang relatif sedikit ketika Antropologi berada dalam periode formatif. Pandangan Mark adalah kesamaan dengan fungsionalisme struktural Inggris yaitu agama berfungsi melegitimasi dan mengabadikan golongan dan penguasa. Fungsiomalisme agama berfungsi melegitimasi dan mengabdikan struktur sosial yang ada.
            Saat ini para Antropolog kebanyakan pasrah pada kenyataan bahwa subjek kajian mereka tidak akan pernah mencapai kesatuan dan uniformitas teoritis. Beberapa Antropolog mengorientasikan kajian agama pada psikolog kognitif, sebagian lain pada feminisme. Sebagian lain pada sejarah sosiologis. Tidak ada lagi ortodoksi yang harus dibicarakan, barangkali sepatutnya dikatakan bahwa bagaimanapun juga terdapat beberapa kesepakatan tentang nilai abadi penelitian yang baik dan beberapa tentang tanda etnografi yang baik.
b.)    Karakteristik Dasar Pendekatan Antropologis
            Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropolog harus melihat agama dan praktik pertanian, kekeluargaan, politik,magic, dan pengobatan secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh-oleh praktik sosial lainnya.
            Beberapa tahun terakhir, ketika dekonstruksi posmodernisme yang sedang digemari menjalar melalui ilmu sosial, pendekatan holistik mendapat serangan. Jika ada masa-masa keemasannya, kerangka kerja fungsionalisme struktural lebih membesarkan watak sistematik yang ditelitinya, namun saat ini sudah dibuka peluang terhadap fungsionalis struktural. Karya yang melakukan hal ini dapat dilihat dalam Lugbara Religion hasil penelitian Middleton. Dalam karya tersebut dia lebih senang memilih istilah inggris daripada bahasa Lugbara itu sendiri, meski demikian karya Middleton tidak mengurangrangi kekayaan etnografis, buktinya siapa saja yang membaca hasil karyanya masih merasakan proses aksi sosial dan agama seperti yang benar-benar dipraktikan. Dengan cara ini, terlihat adanya pergeseran karakteristik penelitian, dari karakteristik struktural ke “makna”.
            Karakteristik antropologi bergeser lagi dari antropologi “makna” ke antropologi interpretatif yang lebih global, seperti yang dilakukan C.Geertz ide kuncinya bahwa apa yang sesungguhnya penting adalah kemungkinan menafsirkan peristiwa menurut cara pandang masyarakat itu sendiri. Penelitian seperti ini harus dilakukan dengan cara tinggal ditempat penelitian dalam waktu yang lama, agar mendapatlan tafsiran dari masyarakat tentang agama yang diamalkannya. Jadi, pada intinya setiap penelitian yang dilakukan oleh antropolog, memiliki karakteristik masing-masing dan bagi siapa saja yang ingin melakukan penelitian dengan pendekatan antropologis, bisa memilih contoh yang telah ada atau menggunakan pendekatan baru yang diinginkan.
1.      Pendekatan Feminisme
            Pendekatan agama melalui Feminisme adalah studi kritis bagaimana agama dipandang dari sudut pandang gender, sebagai kategori utama. Anne carr seorang peneliti agama dan feminis mengatakan bahwa keduanya sangat bergantungan bagi kehidupan perempuan, bahwa feminisme juga seperti agama yang memberi perhatian terhadap kehidupan kaum wanita di dunia kontenporer, identitas manusia dan totalitas manusia yang didasari atas banyak disiplin ilmu, sosiologi, antropologi, teologi dan filsafat. Tujuan dari pendekatan feminisme adalah mengukur sejauhmana agama sesuai dengan kepribadian, dan interaksi yang menguntungkan antara keduanya.

            Kritisisme yang dibangun dalam pendekatan feminis ditunjukkan kepada agama dan dogma-dogamanya yang selalu memojokan kaum perempuan dalam bentuk symbol, ritual, dan teks. Meletakan perempuan pada posisinya dianggap adalah hal yang mesti dan harus. Terminologi feminisme bukanlah dipakai untuk hal yang tunggal, akan tetapi memilki cakupan yang luas. Salah satunya adalah David Boucher menggambarkan feminisme adalah sebuah bentuk pertemanan kaum perempuan dari ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial dimana perempuan tediskriminasi karena jenis kelaminnya. Istilah yang menjadi basis kritikan kaum feminis adalah Patriaki, dimana kaum lelaki menginsitusikan sistem dominasi mereka terhadap perempuan.

            a.) Perkembangan Sejarah pendekatan Feminis

            Priode pertama di abad 19 saat seorang wanita bernama Anglo menentang dua kebijakan otoritas agama di Amerika, perbedaan terhadap jabatan pendeta dan kritisisme injil. Keikutsertaan kaum perempuan dalam berbagai kegiatan gereja hanya bertepuk sebelah tangan. Kemajauan kaum wanita sekuler berdampak sangat kepada kaum wanita religius. Seperti menolak ikut bertanggung jawab atas keputusan gereja. Kaum feminis juga ikut dalam menafsirkan Tuhan sebagai sosok yang sangat berbeda dari penafsiran laki-laki, dan juga bagaimana hanya laki-laki yang diizinkan untuk berkhotbah, feminis berdalih bahwa pesan universal Yesus bukan hanya untuk laKi-laki dan perempuan. Pengorbanan Yesus sesungguhnya adalah pengorbanan untuk laki-laki dan perempuan.
 
            Setelah itu ada sekelompok biarawati yang nekat menjalankan misi tanpa disetujui oleh umatnya, yaitu Jerena lei dan Amanda B Smith. Perjalanan mereka berkeliling adalah usaha atas ketidakpuasanya terhadap kepemimpinan laki-laki. Terpinggirnya akses perempuan di kependetaan ditanggapi serius oleh Catherien Booth yang terpengaruh dengan gerakan suci phoebe Palmer. Satu lagi gerakan perempuan yang menentang posisi perempun dalam pewahyuan juga ditanggapi oleh dua kelompok seperti shakers dan Sains Kristen Marry Bakery edy.

            Maraknya isu feminisme memang dilatarbelakangi oleh agama, seperti yang terjadi di Inggris dan Amerika. Baik secara politik, perbudakan dan kesetaraaan gender, kesemuanya direspon dengan cara yang konservatif dan liberal. Seperti Evanglis yang sangat memperhatikan isu kewarganegaraan perempuan, kesanggupannya dan pengorbanannya untuk kepentingan orang lain. Atau yang liberal dengan menentang ide-ide injil yang belum mensetarakan politk dan social, padahal jenis kesamaan adalah hak yang diberikan Tuhan. Salah satunya adalah Matilda J Gege yang berkata bahwa perempuan diciptakan dalam image yang sama oleh Tuhan, sehinga representasi simbolik dunia juga sama. Di injil, dasar –dasar injil dalam agama adalah sebab inferioritas peremnpuan.
            Proyek pertama kaum feminis ialah pembahasan yang menyeluruh terhadap misoginotas agama barat. Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Yahudi dan Kristen. Ketidakwajaran yang terjadi dalam dogma agama ataupun tradisi memberikan pertanyaan, apakah yang harus menjadi tujuan kaum feminis, apakah kesetaraan atau pembedaan.
Kaum reformis mengatakan bahwa kesetaraan yang diperlukan antara laki-laki dan perempaun sebagi bentuk dari kerangaka pembebasan perempuan yang lebih luas. Radikal feminis menyerukan untuk membedakan dengan jelas antar jenis kelamin, tujuannya adalah mencari jalan yang lebih bijak atas agama bible, yaitu menumbuhkan kesadaran teologis dengan merombak simbolisme agama terhadap perempuan.
            Pendektan feminis bukan hanya sebagai bentuk perlawan kaum perempauan terhadap domga agama, akan tetapi juga menjawab asumsi-asumsi akademis tentang bebas nilai dengan melakukan pengujian kembali atas materi dan konsep-konsep dari sudut pandang gender dan relasi kekuasaan. Kesumuanya yang terjadi dalam pengalaman perempuan harus teruji dan valid, maka kesadaran diri secara pasti tidak akan cukup tanpa adanya metodoligi pendekatan yang sistematik.
b.)    Karakteristik Dasar Pendekatan Feminis

            Kaum Feminis yang masih menganut paham religious ingin mengoreksi kembali simbol-simbol agama. Yang paling jelas bagi mereka adalah gambaran Tuhan dalam agama mereka yang sangat kelaki-lakian. Penelitian Daly tentang hubungan simbolisme agama yang bersifat maskulin, baik tingkat kemampuan atau metafora bahasa teologis. Seperti pemahaman bahasa Tuhan Bapak, Bagimanapun mereka mangatakan bahwa telah kehilangan arti metaforis yang benar dan tidak semestinya dipahami secar parsial.

            Feminis religius berupaya untuk membentuk image Tuhan sebagai mana adanya, tidak esklusif dan lebih merefleksi dua jenis gender. Salah satu yang mereka lakukan adalah dengan menelaah sember-sember budaya kuno, atau disebut transhistoris, yaitu sember-sumber agama-agama kuno, yahudi dan kristiani dan agama-agama timur. Phillis Tribel dan Elizabeth Jonshon meneliti bahwa dalam tradisi agama Kristen terdapat pluralitas gender, dimana Tuhan diceritakan dalam bible memiliki kesan-kesan yang feminis, seperti keibuan, rahim, dan melahirkan (SI:42:14). Akan tetapi apa yang dilakukan feminis religious menafsirkan keTuhanan dengan sifat perempuan justru malah akan banyak merubah antromorfosis bahasa watak gender Tuhan.
            Aspek yang paling kental ketika feminis dalam definiis keTuhanan kaum feminis adalah personifikasi perempuan dalam kearifan Tuhan. Banyak agama yang menggambarkan hal seperti itu, misalnya tradisi Shekina dan Kabbalisme dalam agama Yahudi, prajhaparamita dalam Budisme Mahayana dan Holy Spirit dalam agama Kristen. Namun menurut sarah Coekley tradisi holy spirit memang benar-benar menunjukan kelonggaran dalam menyimpulkan dari pada sebagai bentuk feminis, karena bagian itu tak sedikitpun menggoyahkan Trinitas keTuhanan. Dari kalangan Yahudi, Plaskow setuju dengan konsep Shekhinah karena menguntungkan bagi perlawanan sebenarnya kepada patriarkis.
Maka yang selamjutnya adalah penggunaan istilah baru dan definisi baru Tuhan kaum feminis, yaitu sebagai bentuk yang suci –sacred-, bukan lagi Tuhan yang transenden sebagaimana yang dipahami oleh patriarkis. Gambaran baru Tuhan ibu yang pengsih adalah pentasbitan akan relasi terdalam manusia, mengkominasikan keperempuanan dan non gender, dan menunjukan adanya model relasi baru.
Ursula King mengatakan”Barangkali bukan hal yang bijak dan pantas untuk meninggal kan image Tuhan Bapak, tetapi keyakinan tentang yang hidup juga tidak semestinya melihat simbol yang sudah tidak lagi berbicara dengan mudah kepada kita”. Artinya bahwa Konsep Tuhan Bapak tidak perlu hilang, namun idealnya jangan juga mementingkan simbol. Perkataan King juga menunjukan akan adanya pemahaman teradap simbol yang berlebih oleh kaum feminis, muatan-muatan yang diambil oleh kaum feminis terlihat naratif, padahal yang terpenting menurut pengarang adalah muatan normative. Begitupun Milieu yang memiliki kesimpualan bahwa teks-teks injil pada akhirnya adalah membebaskan kaum perempuan. Karena kaum feminis banyak mencurigakan teks-teks injil yang menurtnya dibuat oleh laki-laki. Namun seperti yang dikatakan oleh feminis reformis tidak ikut dalam pemahaman teks yang membenci perempuan sebagai suatu persoalan yang sangat menentukan.

            Koreksi yang lain terhadap fenomen perempuan dalam injil, seperti bagaimana tokoh-tokoh Deborh dan Miriam dan perempuan-perempuan disekeliling Yesus memperoleh perhatian, semaentara sejarah khas yang diteliti oleh teolog Afrika dan Amerika menunjukan paradigma perbudakan kaum perempuan. Tidak salah kalau kemudian kaum feminis mengambil sebagai penafsiran atas kehilangannya infrioritas kaum perempuan, dan kesetaaran gender yang sesungguhnya. Atau cerita tentang penciptaan perempuan dan lai-laki oleh Tuhan secara bersama-sama. Atau juga Hawa da Lilith keakraban dan kerjasama perempuan.
            Kedua, kasus kenabian Yesus dalam injil. Unsur kenabian Yesus yang dimuat dalam injil menurut Feminis adalah bagian yang sangat telak mengangkat patriarki dari sumber injil sendiri. Keadilan sosial dan kaitanya dengan kenabian adalah suatu sejata untuk menentukan perubahan bagi kaum feminis. Namun Elizabeth meragukan kalau pewahyuan injil, adalah hasil sejarah kaum gereja. Dari asalnya di mana perempuan ditempatkan dalam aktifisme Kristen awal dan kemudian pergeseran dimulai dari mulai penghianatan terhadap anjuran Yesus, sehingga Patrialkal menguat dan berkurangnya aktifisme wanita dalam gereja muncul. Sebagaimna juga yang terajadi dalam Islam, dalam Women and gender in islam Leila Ahmad melacak kematian aspirasi perempuan secara bertahap dari priode Muhammad sampai Abbasiah.

            Diskursus feminisme dalam injil adalah bagian yang terisolasi, dan hal yang termarginal seperti ini akan mendapat pertanyaan apakah bisa pengalam kaum perempuan yang marginal dalam injil menjadi satu basis hermenetik bagi mereka. Mary ann Tolbert, menurutnya bagaimanapun feminism akan menjadi paradok dengan peafsiran mereka karena dimana injil telah dijauhkan dari otoritas asalnya yaitu kaum patrialkal. Theology and Feminisme Daphen Hampson menjelaskan, apa yang dikejar selam ini oleh kaum feminis adalah hal yang sangat jauh dan terbatas, bahkan bukan bagian yang mengancam. Maksudnya selama ini kaum feminis telah salah sasaran dalam mengkritisi kenabian dan injil.
Tapi, usaha kaum feminis adalah merupakan bagian yang diakui oleh injil, bahwa kitab suci berhak dikonstuksi oleh masyarakat. Maka apa yang dilakukan kaum feminis adalah bagian dari penafsiran, yang memiliki ciri khas dalam melakukan transpormasi agama.
            Ketiga, yaitu penemuan kembali sejarah keagamaan perempuan. Ini adalah hal yang berbeda dari dua hal sebelumnya, karena masalah ini tidak menyinggung injil dan kitab suci. Sejarah-sejarah dahulu sering mengangkat sosok perempuan-perempuan besar, perempuan kecil religius tidak pernah diangkat dalam sejarah. Feminis sekarang beusaha untuk mengingatkan kembali bahwa pengalaman keagamaan perempuan-perempuan awam adalah penting, bukan hanya ratu dan perempuan suci. Peranan para sufi wanita yang ribath di tempat yang asing, inisiatif dan partisipasi perempuan Israel kuno dalam persoalan ekonomi, dan biarawati-biarawati kulit hitam katolik yang berkhotbah di inggris.
            Sebagaimana yang dikatakan oleh King bahwa penemuan kembali sejarah perempuan adalah bukan persoalan masa lalu, akan tetapi adalah masalah tentang identitas personal dan kelembagaan. Permasalahan bagaimana wanita kulit hitam memperjuangkan hak-hak mereka atas rasisme orang amerika. Sojourner Truth dab Maria S swart merupakan sumber otoritatif bagi konstruksi etika, kristologi, dan teologi feminis kulit hitam beberapa waktu terakhir.
Telaah kaum feminis terhadap bahasa yang digunakan oleh agama seperti secred, litalatur dan sejarah membawa dampak positif dialog yang saling menguntungkan antara agama dan feminis, Kedudukan agama dan feminis dihargai dan disejarakan dengan tradisi yang mereka respon melalui pertanyaan-pertanyaan kontenporer.
            Teori yang ditawarkan oleh kaum feminis tidak hanya sekedar omongan tetapi juga praktis mereka jalani, walaupun teori dan praktis kaum feminis selau mengalami perubahan. Dampak besar datang dari luar, di mana kaum feminis menjadi modal bagi kelompok yang sama mengalami situasi yang sulit dalam cacat religius dan social yang dialami oleh kaum perempuan.
Seruan yang mendasar bagi misi feminis dalam tradisi agama ialah menempatkan perempuan dalam posisinya yang sama dengan laki-laki, yaitu menjadi pemimpin. Tradisi yahudi yang menghadang kaum perempuan dalam halakhik peribadatan public. Komunitas perempuan dalam agama bukan hanya sebagai penggerak hak-hak perempuan, tetapi juga sebagai kajian ulang atas tafsir kependetaan laki-laki. Ritual-ritual baru yang berorientasi pada perempuan adalah hasil dari perkembangan kembali pemahaman secred yang dilakukan kaum feminis. Atau juga menghilangkan bahasa androsentris dalam peribadatan dan pengalaman perempuan.
            Penekanan lain yang dilakukan oleh feminimisme adalah keterikatan hubungan perempuan dan laki-laki, saling ketergantungan satu sama lain. Ciri tersebut adalah bentuk moral etis kaum feminis. Moral feminis sering dicirikan dengan metaphor kepedulian, ketergantungan, dan kesaling berhubungan. Ontologi Women’s conscience :Women’s consciousness, menggambarkan realisasi dinamika tersebut dalam beberapa wilayah, seperti gerakan perempuan, anti semitik, kekerasan seksual, keadilan rasial, dan pertemanan perempuan.
Rasionalisasi tersebut (etika) sangat terkait dengan ekofeminisme, yaitu etika lingkungan feminis. Menurutnya persoalan pencemaran lingkungan adalah persoalan krisis spiritualitas. Pemahaman kita telah gagal menjadikan bumi sebagai relasi yang sangat kuat dalam jaringan kehidupan. Persamaan ideologis antar agama, seksualitas perempuan dan pencemaran alam dilihat oleh ekofeminisme adalah bentuk patriatikal yang teralienisasi kepada kebudayaan manusia sebagai bentuk fisik alam. Seperti yang dijelaskan oleh Plaskow: pencemaran lingkungan dan perusakan alam adalah bagian dari penolakan manusia atas terciptanya pengejawantahan yang sama dengan alam. Irene Diamond dan Gloria Feman mengatakan dalam pengantar reweaving the world:The emergence of ecofemism, bahwa pengakuan atas kesucian intristik alam, dan ketergantungan manusia terhadap planet merupakan prinsip pluralisitik kaum ekofeminis, menuntut distribusi kehidupan yang wajar tanpa kekerasan terhadap bumi. Sarjana barat lain yang memilki ketertarikan atas konsep lingkungan kaum ecofeminis mencari dalil dalam kitab injil bible. Ruthe dan anne misalnya mengatakan bahwa bumi adalah sesuatu yang hidup dan organisme yang satu, yang mengesankan pesan monotistik agama Kristen. Atau Carol Christ dan Charlene yang juga tergabung dalam fenemisme radikal mengatakan bahwa kesesuai alam dan perempuan dalam bentuk penyembahan kembali dewi. Definisi maskulin yang ditafsirkan kembali adalah bentuk yang sering dianggap bahwa dewi adalah simbol dari kekuatan perempuan “kekuatan dan kematian, kehidupan dan kematian, adalah kekuatan-kekuatan yang dipantulkan oleh alam.”

            c.) Persoalan dan perdebatan

            Berkembangnya Isu feminism di dunia sekarang ini adalah buntut dari gencarnya kontekstualitas yang dibawa oleh kaum feminis. Melalui sumber-sumber empiris yang dilakukan secara sintetis dan relektif, dan analisis dalam agama, sosial dan politik. Seperti bagaimana Jean Zaru menyuarakan anti kekerasan terhadap perempuan intifadah. Juga yang dilakukan Swarnalata Devi yang menggambarkan perjuanangan wanita Kristen yang pemberani, dll.
Tapi sebenarnya kemajuan yang terjadi di kalangan feminis masih belum menunjukkan sesuatu yang benar-benar baik. Ini bisa dilihat dari bagaimana pengalaman beberapa perempuan di tempat yang berbeda, yang meruntut juga pada perbedaan wanra kulit, ras, dan status ekonomi. Antara feminis Afrika dan Amerika bisa dilihat dari penggunaan kata yang berbeda untuk kedua istilah metode feminis yang dipakai, mijerista dan womenist. Absolutisasi pemahaman dari metode masing-masing banyak membawa dampak yang buruk “pengalaman perempuan” yang berbeda-beda, di Barat para feminnis mengkritik wanita muslimah berjilbab, yang akhirnya feminism barat dipertanyakan oleh feminism muslim. Maka yang terpenting bagaimana mempersatukan pengalaman perempuan tadi, ditambah lagi pemahaman pengalaman perempuan yang hanya menunjukkan kepada definisi kelamin atau diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan adalah bagian yang tidak wajar atas pemahaman yang kompleks pengalaman perempuan, sebagaimana dellores katakana.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan kedua adalah separatisme feminis. Perbedaan yang fundamental antara laki-laki dan perempuan, dan menghalangi keikutsertaan laki-laki dalam perempuan adalah merupakan rasisme yang tersembunyi dari kalangan feminis. Maka apa yang terjadi merupakan pemahaman subjektif mereka yang tidak sejalan, dan bisa dipastika tujuan awal yang dinginkan tidak akan tersentuh, yaitu patriarkal. Pendekatan feminis telah dan terus sebagai suatu percobaan terhadap agama mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks pluralis, kontenporer, dan juga post modern.

2.      Pendekatan Fenomenologi
            Terkait dengan perkembangan historis pendekatan fenomenologi agama, penelitian Jacques Waardenberg “Classical Approaches to the Study of Religion” (1973) dalam tulisannya itu ada kata kunci yang digunakan Jacques yaitu “empiris” dan “rasional”. Empiris disini mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui ilmiah sebagai suatu metode diderivikasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan ditetapkan kedalam ilmu-ilm sosial sebagai suatu pengajian terhadap struktur sosial dan perilaku manusia sedangkan rasional mengacu pada penelitian perikau manusia sesuai dengan premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah. Oleh karena itu, irasional mengindikasikan agama sebagai suatu fenomena yang tidak berjalan sesuai dengan parameter-parameter tersebut.
Fenomenologi agama berangkat dari evaluasi ataseden (pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri dalam study agama dalm kaitannya sebagai pendekatan alternatif terhadap subjek agama. Meski demikian, kita harus berhati-hati terhadap kecendrungan menganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari disiplin-disiplin lain. Keadannya lebih kompleks dan tidak stabil.
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.
Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya. Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti metode-metode ilmu alam (natural sciences) dan bebas nilai (value free), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value-bound) seperti kemanusiaan dan keadilan.
Dalam pandangan Kristenen, fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi oleh sejarah, Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling berhubungan dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye, Kristenen berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari “makna” fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian makna fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan masing-masing orang. Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup hanya dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh masing-masing tradisi keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah pemahaman.

3.      Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batin pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerak dinamisnya, harus pula diteliti dan inilah yang menjadi tugas interpretasi psikologis.
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis memang berkembang dan dijadikan sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah manusia, gejala-gejala empiris dari keagamaanya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama, metodenya pun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris lainnya. Oleh karena itu pendekatan psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu, baik sekarang maupun waktu yang akan datang.
Selain itu, sifat ilmu pengetahuan sifatnya adalah empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang biasa, sedangkan Dzat Tuhan,wahyu,setan,dan fakta gaib lainnya tidak dapat diamati dengan pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya. (Aziz Ahyadi,1981:9;Zakiah daradjat,1979:17-19).
Sumber-sumber ilmiah untuk mengumpulkan data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1.         Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup
2.         Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri
3.         Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama (Zakiah Daradjad,1979:20)

4.      Pendekatan Sosiologis
            Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus perhatiannya pada interaksi antar agama dan masyarakat. Praanggapan dasar perspektif sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan agama. Objek-objek, pengetahuan, praktik-praktik, dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksimanusia dan konstruksi sosial. Agama merupakan salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinan-keyakinan, da perilaku religius, menurut sosiolog adalah untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih hebatdalam dunia sosial.
            Kritik terhadap studi agama yang berspektif sosiologis menyatakan bahwa fokus sosiologi terhadap imanensi dengan mengesampingkan transendensi, atau digunakannya ateisme metodologis, turut ambil bagian dalam satu upaya untuk “mengontrol yang Mahaluhur”, membatasi signifikansinya dalam teori sosial dan dunia sosial. Akan tetapi, studi sosiologi terhadap agama tidak hanya memberi perhatian terhadap kekuatan dan proses sosial, melainkan juga kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaan dalam dunia sosial.
            Teori sosiologi tentang watak agama serta kedudukannya dan signifikansinya dalam dunia sosial, secara tidak langsung mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, meliputi : Stratifikasi sosial, Kategori biososial, Pola organisasi dan Proses sosial. Yang mana peran kategori-kategori ini dalam studi sosiologis terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma-paradigma utama tradisi sosiologis dan oleh refleksi atas realitas empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan.
            Keyakinan dan aktivitas religius dapat memberikan kompensasi bagi kelompok-kelompok sosial atau minoritas yang tak beruntung atau pada orang-orang yang meskipun relatif sukses dalam pengertian sosial atau materiil namun masih mengalami beberapa kendala emosional atau materiil baik dalam kaitan dengan harapan-harapan yang ingin dipenuhi atau orang-orang yang setara dengannya.
5.      Pendekatan Teologis
           
            Sistematika yang dilakukan Frank Whaling dalam membahas pendekatan teologis, yaitu pertama, menganalisa maksud dari teologi dan studi keagamaan. Kedua,meneliti keterkaitan antara teologi dan studi keagamaan dengan melihat watak, makna dan tujuan. Ketiga, meneliti berbagai pendekatan teologis dalam studi agama, antara lain; melalui teologi agama-agama (theologies of religion) yaitu teologi tertentu yang muncul dalam tradisi keagamaan tertentu, teologi-teologi agama (theologies of religion) yaitu berbagai sikap teologi dalam tradisi keagamaan particular yang diadopsi dari luar agama, dan teologi agama (theologiy of religion) yaitu upaya membangun suatu teologi yang lebih universal lebih mengonsentrasikan pada kategori-kategori transenden dan teologi agama-agama global, kemudian mengonseptualisasikan kembali kategori-kategori yang muncul dari tradisi keagamaan tertentu yang dapat mengarahkan perkembangan situasi global, yang mempengaruhi setiap orang. Lalu melakukan eksplorasi beberapa titik temu dan perbandingan teologis dalam bagian yang dapat kita sebut dengan “teologi agama perbandingan”.

a.)    Makna Teologi
Kata teologi pada dasarnya sudah ada sejak bangsa Sumeria, dan menjadi sebuah istilah Yunani Theologia. istilah ini mengacu pada tuhan-tuhan atau Tuhan. Greek-English Lexicon karya Liddell dan Scott, kata teologi mengandung 233 derivasi dan 222 terkait dengan tuhan (dengan t besar) dan tuhan-tuhan (dengan t kecil). Kemudian Aristoteles membangun istilah baru yang disebut Teologi filosofis. Orang-orang Kristen mewarisi teologi dari Yunani dan menjadi terkemuka di kalangan apologis Kristen dan pendiri awal gereja Kristen sebagai suatu cata membumikan tradisi Kristen dalam kebudayaan Yunani-Romawi. Pada masa Aquinas, teologi memperluas cakupannya hingga meliputi dokrin, etika spiritual, filsafat, peraturan-peraturan gereja dan mistisisme. Dan pada akhirnya teologi mengonsetualisasi menjadi teologi universal guna memenuhi kebutuhan dunia serta suatu teologi global agama-agama.
Kesimpulan dari maksud dan arti teologi dari Frank Whaling dapat dihasilkan 3 kesimpilan. Pertama, teologi pasti berkaitan dengan Tuhan atau transendensi, baik dilihat secara mitologis, filosofis atau dogmatis. Kedua, dokrin tetap menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi. Ketiga, teologi sesungguhnya adalah suatu aktivitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.

b.)    Maksud dari Studi-studi Keagamaan
            Dalam membahas maksud dari studi-studi keagamaan, Frank Whaling membagi studi keagamaan mencakup lima kategori yang saling melengkapi. Pertama, tradisi-tradisi besar (agama Budha, hindhu, Kristen, Yahudi dan Muslim. Kedua, mencakup juga tradisi-tradisi kecil yang masih hidup ( Zoroaster, Jain, Sikh, Taoist). Ketiga, tradisi-tradisi yang telah mati yang pernah menjadi media transenden. Keempat, agama-agama primal yang lebih mendasarkan pada tradisi lisan, seperti mite, ritual, simbul  dari kesukuan. Kelima, gerakan-gerakan keagamaan baru yang muncuk di era modern (Bahai, gereja persatuan, Kristen Afrika asli dasb).. keenam, Ninian Smart menyebutnya sebagai agama-agama sekuler (nasionalisme, humanism sekuler, Marxisme). Kemudian perbedaan antara teologi dengan studi keagamaan adalah ;
1.    Studi-studi keagamaan menggunakan beragam pendekatan dan metode, seperti filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, fenomenologi, psikologi dan linguistic.
2.    Teologi lebih berpusat pada persoalan dokrin, transendensi dan pada elemen konseptual dalam agama dibanding dengan praktik, spiritual dan perilaku.
3.    Sedangkan studi keagamaan memberi titik tekan yang sama terhadap elemen-elemen yang ada dalam agama, seperti praktik social, ritual, estetika, spiritualitas, mite dan simbul, serta menfokuskan pada orang-orang beriman dan pengalaman atau keyakinannya ketimbang objek keyakinan.

c.)    Hubungan Antara Teologi dan Studi-studi Keagamaan

            Setelah membahas tentang perbedaan teologi dengan studi-studi keagamaan, Frank Whaling mencoba meneliti tentang keterkaitan antara teologi dan studi keagamaan serta watak keduanya dengan melihat makna dan tujuannya. Analisa yang digunakan oleh Frank Whaling terhadap keterkaitan teologi dan studi keagamaan menggunakan dua model, yaitu pertama, dengan melihat peran teologi dan implikasinya juga bagi studi keagamaan, dalam tiga kerangka pengetahuan seperti berkembang di dunia Barat.
       Dalam sejarah intelektual Barat, terdapat tiga model dominan. Pertama, model humanitas (humanity). Titik tekannya pada literature dan manusia, filsafat, etika, geografi, bahasa, dan kebudayaan. Porosnya adalah humanitas. Sedang studi agama dan ilmu kurang mendapat perhatian. Sampai pada abad tengah, St. Augustines dan Thomas Aquinas melakukan model baru pembelajaran Eropa yang lebih menekankan teologi dari pada humanitas. Pada Abad tengah ini, ilmu menempati posisi kedua setalah teologi. Sedangkan di era modern, telah mengalami pergeseran, yaitu alam dan ilmu-ilmu kealaman serta eksperimen terhadap alam menjadi landasan pengetahuan dan menjadi titik porosnya dibanding teologi. Di era sekarang dengan perspektif global, muncul kesadaran semangat menyatukan kembali pengetahuan guna memenuhi tuntutan dunia global. Maka perlu interkoneksi antara teologi dan studi-studi keagamaan, humanitas dan ilmu-ilmu kealaman saling membutuhkan satu dengan yang lain. Akibat globalisasi tersebut, membawa tiga konskuensi terhadap teologi dan studi-studi keagamaan.
1.    Teologi Kristen bukan satu-satunya kunci bagi “rethingking” ini. Artinya semua teologi agama-agama di dunia mempunyai peran yang sama. Dengan demikian, studi-studi keagamaan memainkan peran signifikan karena perannya secara inheren lebih luas dibanding peran teologi Kristen.
2.    Studi-studi keagamaan telah memiliki tempat dalam dua model diantara dua model yang telah dipaparkan.
3.    Studi keagamaan dan teologi memiliki tugas penting dalam ketiga proses pengetahuan dan ketiga model pengetahuan. Teologi tidak lagi focus pada Tuhan, dan studi keagamaan tidak lagi focus pada alam dan krisi ekologi yang sekarang mengancam dunia kelaman. Tetapi secara berlahan mulai tumbuh kesadaran mengenai komplementaritas antara teologi dan studi-studi keagamaan dalam agama dunia global.
Menurut Fran Whaling, dalam menganalisa hubungan antara teologi dan studi-studi keagamaan,  beliau menggunakan model dimana bahwa konsep transendensi dalam agama  memiliki bentuk yang berbeda-beda dalam setiap tradisi. Masing-masing tradisi memiliki delapan elemen tetapi memberi penekanan yang berbeda terhadap masing-masing elemen.
1.      Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja, ummah, sangha, dan lain-lain) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat beriman ke dalam konteks global.
2.      Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek: penyembahan yang terus-menerus, sakramen, dan upacara-upacara.
3.      Etika: seluruh tradisi memiliki keinginan mengkonseptualisasikan dan membimbing ke arah kehidupan yang baik, dan semua menyepakati persoalan-persoalan dasar seperti keharusan menghindari kebohongan, mencuri, pem-bunuhan, membawa aib keluarga, dan mengingkari cinta.
4.      Keterlibatan sosial dan politis: komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat dalam masyarakat yan lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaptasi dengan kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti dalam agama-agama primal.
5.      Kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci dalam kitab suci atau tradisi oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengenyampingkan agama-agama primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebagai suatu canon (peraturan-peraturan).
6.      Konsep atau doktrin: tradisi Kristen dengan gagasannya tentang ortodoksi doktrinal lebih menekankan pada konsep dan teologi dibanding lainnya, namun seluruh tradisi memiliki sejumlah konsep yang sangat penting bagi mereka.
7.      Estetika: dalam tingkat akar rumput di sepanjang sejarah, estetika merupakan hal signifikan, meski dalam masyarakat yang tidak dapat membaca.
8.      Spiritualitas yang menekankan sisi dalam (batin) dari agama: beberapa orang menyatakan bahwa seluruh spiritualitas pada dasarnya sama, sebagian lainnya menyatakan bahwa ia berbeda menurut tradisi atau menurut struktur dasar.
Seluruh tradisi keagamaan menurut Frank Whaling memiliki kedelapan dimensi tersebut dengan bobot penekanan yang berbeda-beda menurut perbedaan pemahaman tentang elemen yang paling penting. Studi-studi keagamaan bersifat lintas budaya dan tidak ada kepentingan tertentu untuk memperkembangkan salah satu tradisi.
Kesimpulannya, meskipun batas-batas dan perhatian teologi dan studi-studi keagamaan itu terpisah, namun bukan pemisahan yang mendasar. Keduanya, saling berjalan dengan cara seperti kaitanya dengan model-model pengetahuan Barat dan dengan suatu model agama general.

d.)   Pendektan Teologi
Pendekatan teologi beranggapan bahwa agama sendiri adalah agama yang paling benar, sedang agama orang lain dianggap salah. Pendekatan teologi mempunyai 4 tipe yaitu tipe teologi deskriptif-historis, tipe teologi fisterensik, tipe teologi dialogis dan tipe teologi filosofis. Dari empat tipe teologis ini, kemudian melahirkan 4 pandangan teologis yang berlawanan. Pertama, tradisonalisme pasif, yaitu pandangan teologis seseorang yang menutup diri dari perubahan yang terjadi dalam dunianya. Kedua, teologi kreatif terhadap tradisi, yaitu pandangan teologi yang berusaha memelihara dan memulihkan tradisi dengan cara dinamis dan kreatif. Ketiga, teologi liberal, yaitu pandangan teologi yang lebih menekankan pada reformasi, adaptasi dengan perkembangan modern. Keempat, pandangan teologis yang ingin menginterpretasi ulang tradisi keagamaan secara radika (Ninian Smart, 1984 : 257)
Suatu pendekatan lain adalah karya Wifred Cantwell Smith, dia mengemukakan apa yang selanjutnya disebut oleh Frank Whaling dengan teologi agama. Namun sebelumnya, terdapat sikap-sikap teologis yang diterapkan tradisi-tradisi keagamaan terhadap dunia yang lebih luas.
Ada tujuh sikap teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan, yaitu Eksklusifisme (menganggap tradisinya paling benar dan tidak ada kemungkinan kompromi dengan kebenaran tradisi lain), diskontinuitas (tradisi-tradisi sebelum Islam yang tidak dianggap karena sudah dihapus), sekularisasi dan spiritualisasi, penyempurnaan ( seluruh tradisi keagamaan memiliki akses pada transendensi, kebenaran dan pandangan spiritual), universalisasi, dialog (meskipun ada yang memasukkan sebagai metode, bukan pendekatan), dan relativisme.
Pendapat dan masukan.
  1. Setelah melakukan review terhadap buku aneka pendekatan studi agama khususnya pada bab pendekatan teologis oleh Frank Whaling, penulis merasa bahwa pemikiran Whaling ingin mengajak untuk menjadikan pendektan teologis dalam studi-studi keagamaan dapat menyumbangkan pesan-pesan transendensi untuk memberikan solusi persoalan global.
  2. Pendekatan yang ditawarkan dengan interkoneksi dengan berbagai macam teologi agama-agama dan keilmuan akan membawa kompromi-kompromi demi menjaga dan menyelamatkan kerusakan ekologi, humanity dan spiritual secara global.
  3. Memakai istilah teologi untuk menyebut ajaran-ajaran transendensi agama-agama, teologi pada awalnya sebagai istilah milik Kristen untuk membumikan tradisi-tradisi, kini menjadi lebih luas maknanya. Hemat penulis, untuk kontek dunia keilmuan studi islam dalam hasanah dialog antar agama dan penelitian keagamaan bisa diterima. Tatapi Frank Whaling tidak adil bila pembahasan teologi lebih memihak pada tradisi-tradisi agama tertentu seperti Kristen.
  4. Mengajak untuk menuju titik temu dari semua ajaran-ajaran agama adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi, karena masing-masing teologi agama-agama mempunyai dokrin akidah, kitab, nabi dan ibadah yang berbeda-beda. Kecuali kalau mereka mau menggunakan akal sehatnya untuk mengakui konsep yang paling bisa diterima tentang ajaran transendensi tuhan adalah konsep tauhid.
  5. Sebaiknya buku ini memang sebagai salah satu refrensi untuk studi penelitian keagamaan, tentu dengan tetap bersikap kritis terhadap isi buku yang ditawarkan. Dan pembaca lebih baik sudah betul-betuk menguasai keilmuan Islam terlebih dahulu.

                   







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Maksud dari pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya.













Daftar Pustaka
Connolly, Petter (ed.). Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta.LKIS.2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar